Tuesday 15 June 2010

ggk

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pembangunan kesehatan pada hakekatnya adalah usaha yang diarahkan agar setiap penduduk dapat mewujudkan derajat kesehatan yang optimal. Upaya tersebut sampai saat ini masih menjadi kendala yang disebabkan masih tingginya masalah kesehatan, terutama yang berkaitan dengan penyakit yang dapat menghambat kemampuan seseorang untuk hidup sehat. Penyakit – penyakit tersebut diantaranya adalah Gagal Ginjal Kronik, (Depkes RI, 2002).
WHO memperkirakan setiap 1 juta Jiwa terdapat 23 – 30 orang yang mengalami Gagal Ginjal kronik per tahun. Kasus Gagal Ginjal di Dunia meningkat per tahun lebih 50%. Di Negara yang sangat maju tingkat gizinya seperti Amerika Serikat, Setiap tahunnya sekitar 20 juta orang dewasa menderita penyakit Gagal Ginjal Kronik, ( Santoso, 2007).
Giatno (2007, dalam Depkes RI 2007), pada peringatan Hari Ginjal Sedunia mengatakan hingga saat ini di Tanah Air terdapat sekitar 70 ribu orang penderita Gagal Ginjal Kronik yang memerlukan penanganan terapi cuci darah. Sayangnya hanya 7.000 penderita Gagal Ginjal Kronik atau 10% yang dapat melakukan cuci darah yang dibiayai program Gakin dan Askeskin. Sisanya sekitar 63 ribu harus pasrah menunggu nasib.
Gagal ginjal kronik saat ini merupakan masalah kesehatan yang penting mengingat selain insiden dan prevalensinya yang semakin meningkat, juga pengobatan pengganti ginjal yang harus dijalani oleh penderita gagal ginjal merupakan pengobatan yang sangat mahal yang harus di tanggung oleh penderita dan keluarganya, (Bahri, 2005). Bila ginjal tidak berfungsi, maka sisa metabolisme yang tidak dikeluarkan tubuh akan menjadi racun bagi tubuh sendiri. Racun ini akan menimbulkan keluhan mual, muntah, sakit kepala hebat sampai penurunan kesadaran. Cairan yang tidak bisa keluar dari tubuh akan menyebabkan terjadinya penumpukan cairan di seluruh rongga tubuh sehingga terjadi sembab dan sesak napas. Penyebab itulah yang menimbulkan masalah bagi penderitanya. Karena ia membutuhkan ginjal buatan untuk menyaring bahan-bahan berbahaya sisa metabolisme ke luar tubuh. Bila tidak dengan segera diatasi si penderita yang mengalami gagal ginjal pada akhirnya akan menemui kematian, (Mambo, 2006).
Jumlah pasien penderita penyakit gagal ginjal kronik di Indonesia diperkirakan 60.000 orang dengan pertambahan 4.400 pasien baru setiap tahunnya. Sedangkan jumlah mesin cuci darah yang ada di Indonesia sekitar 1.000 unit. Jumlah ini hanya bisa melayani 4.000 orang setiap tahun. Ini berarti jumlah pasien yang dapat dilayani kurang dari 10 persen, (Wijaya, 2009).
Penderita GGK di Provinsi Bengkulu setiap tahunnya mengalami peningkatan ini dapat dilihat berdasarkan data yang di dapat dari rekam medik RSUD Dr. M. Yunus Bengkulu yang dapat dilihat pada tabel 1.1.

Tabel 1.1 prevelensi pasien GGK di RSUD. Dr. M. Yunus Bengkulu

NO
TAHUN
UMUR JENIS KELAMIN
JUMLAH
5-14 15-24 25-44 45-64 >65 Lk Pr
1 2007 1 25 69 44 20 97 62 159
2 2008 1 31 71 43 30 81 95 176
3 2009
Jan-okt 4 3 30 62 28 84 43 127
Total 462
Sumber : Medical record RSUD Dr. M. Yunus Bengkulu
Berdasarkan tabel diatas dapat dilihat jumlah penderita GGK cukup tinggi dan jika di lihat dari segi umur maupun jumlah setiap tahunnya mengalami peningkatan setiap tahunnya. Penyebab terjadinya gagal ginjal adalah disebabkan oleh beberapa penyakit serius yang diderita oleh tubuh yang mana berlahan – lahan berdampak pada kerusakan organ ginjal, dan apabila penyakit GGK tidak segera mendapatkan prawatan yang intensif dapat menyebabkan kematian, (Gaspersz dan foenay, 2003)
Hampir semua kasus Gagal Ginjal Kronik di bawa ke ruang Haemodialisa (cuci darah) untuk mendapatkan tindakan pengobatan. Bagi penderita GGK diadakan haemodilisa akan mencegah kematian. Namun demikian haemodialisa tidak menyembuhkan atau memulihkan penyakit penyakit ginjal dan tidak mampumengimbangi hilangnya aktifitas metabolik atau endokrin yang dilaksanakan ginjal namun hanya sebatas upaya untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya dan mengendalikan gejala uremia, (Brunner and Suddart, 2001).
Hemodialisa merupakan suatu tindakan terapi dengan dialisa sebagai pengganti fungsi ginjal untuk menurunkan kadar racun di dalam darah. Pada proses ini zat-zat racun (toksik), air dan elektrolit yang tidak bisa dikeluarkan lagi oleh ginjal yang sakit, di bersihkan dari darah melalui proses haemodialisis. Sejak tahun 1960 haemodialisa mulai ditetapkan sebagai terapi pengganti ginjal pada pasien yang mengalami kegagalan fungsi ginjal, baik yang bersifat akut maupun kronik, (Setiawan, 2008).
Hemodialisa harus dilakukan secara teratur tanpa boleh dilewatkan satu haripun. Biasanya hemodialisa dilakukan 2 – 3 kali dalam satu minggu yang membutuhkann waktu 3 – 6 jam setiap kali melakukan hemodialisa. Hemodialisa tidak bisa dihentikan kecuali jika menjalani pencangkokan ginjal, kegiatan hemodialisa akan berlangsung terus menerus selama hidupnya (Lubis, 2006). Apabila hemodialisa tidak dilakukan atau dilewatkan hanya 1 kali maka pasien akan mengalami penurunan kesehatan dan akan jatuh kembali ke GGK yang hebat sehingga dapat mengakibatkan kematian, (Rubin, 2005).
Menurut Notoatmodjo (2003), faktor yang mempengaruhi pemanfaatan pelayanan kesehatan adalah faktor predisposisi (predisposing factor) yang terwujud dalam pengetahuan, sikap, keyakinan, pendidikan, sosial ekonomi, jarak tempuh, pekerjaan, sikap, keyakinan dan sebagainya. Faktor pendukung (enabling factor) yang terwujud dalam lingkungan fisik, tersedianya/tidaknya fasilitas dan sebagainya. Serta faktor pendorong (reforcing factor) yang terwujud dalam sikap dan prilaku petugas kesehatan, motivasi klien, dorongan dari keluarga dan sebagainya.
Salah satu faktor yang sangat mempengaruhi keteraturan pasien dalam menjalani terapi hemodialisa adalah faktor sosial yaitu pendapatan keluarga. Semakin baik tingkat pendapatan keluarga cenderung akan teratur untuk melakukan haemodialisa, hal ini dikarenakan biaya yang harus dikeluarkan oleh klien cukup besar meliputi obat, pemeriksaan laboratorium, transportsi, hemodialisis dan transplantasi. Mereka yang tinggal didaerah yang belum ada fasilitas haemodialisis tentu akan lebih sulit dan memerlukan biaya yang lebih besar untuk mencapai lokasi. Selain itu motivasi dan dukungan keluarga juga berperan dalam ketaatan seseorang menjalani terapi haemodialisa, (Indonesian Nurse, 2008 )
Di RSUD. Dr. M. Yunus Bengkulu tercatat sebanyak 44 orang penderita gagal ginjal kronik yang menjalani terapi hemodialisa tahun 2009. Berdasarkan survey awal yang dilakukan peneliti di ruang hemodialisa RSUD. Dr. M. Yunus Bengkulu dari 10 orang pasien yang melakukan hemodialisa 5 diantaranya mengatakan tidak teratur menjalani terapi hemodialisa 2 diantaranya mengatakan terlalu mahalnya biayanya dan tidak sanggup bila harus melakukanya secara rutin, 2 diantanya mengatakan jarak rumah nya terlalu jauh dari tempat terapi, dan 1 orang lagi mengatakan kurang termotivasi karena dirinya sudah tua dan takut menyusahkan anak – anak nya.

Berdasarkan uraian di atas peneliti tertarik dan berkeinginan untuk melakukan peneliti dengan judul ” Faktor – faktor yang berhubungan dengan keteraturan pasien gagal ginjal kronik menjalani program haemodialisa di ruang Hemodialisa RSUD. Dr. M. Yunus Bengkulu”.

B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang yang telah dikemukakan di atas maka didapat masalah penelitian masih terdapatnya pasien gagal ginjal kronik yang tidak teratur melakukan cuci darah. Sedangkan rumusan masalah penelitian adalah Faktor - Faktor Apakah yang Berhubungan Dengan Keteraturan Pasien Gagal Ginjal Kronik Menjalani Program Haemodialisa di Ruang Haemodialisa RSUD. Dr. M. Yunus Bengkulu.

C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui factor-faktor yang berhubungan dengan keteraturan pasien gagal ginjal kronik menjalani progam haemodialisa.
2. Tujuan Khusus
a. Untuk mengetahui gambaran keteraturan pasien gagal ginjal kronik yang menjalani program haemodialisa di ruang haemodialisa RSUD. Dr M. Yunus Bengkulu.
b. Untuk mengetahui gambaran pendapatan keluarga pasien gagal ginjal kronik yang menjalani program hemodialisa RSUD. Dr M. Yunus Bengkulu.
c. Untuk mengetahui gambaran jarak tempuh pasien gagal ginjal kronik yang menjalani program haemodialisa di ruang haemodialisa RSUD. Dr M. Yunus Bengkulu.
d. Untuk mengetahui gambaran motivasi pasien Gagal ginjal kronik untuk menjalani program haemodialisa di ruang haemodialisa RSUD. Dr M. Yunus Bengkulu.
e. Untuk mengetahui hubungan pendapatan keluarga dengan keteraturan pasien GGK menjalani program haemodialisa di ruang haemodialisa RSUD. Dr M. Yunus Bengkulu.
f. Untuk mengetahui hubungan jarak tempuh dengan keteraturan pasien GGK menjalani program haemodialisa di ruang haemodialisa RSUD. Dr M. Yunus Bengkulu.
g. Untuk mengetahui hubungan motivasi pasien GGK dengan keteraturan menjalani program haemodialisa di ruang haemodialisa RSUD. Dr M. Yunus Bengkulu





D. Manfaat Penelitian
1. Untuk RSUD Dr. M. yunus Bengkulu
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai faktor-faktor yang berhubungan dengan keteraturan pasien GGK menjalani program haemodialisa di ruang haemodialisa RSUD. Dr M. Yunus Bengkulu.
2. Untuk Akademis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi ilmiah yang dapat bermanfaat dalam mengembangkan kurikulum keperawatan medikal bedah dan sebagai sumber pustaka yang berhubungan dengan gagal ginjal kronik dan Haemodialisa.
3. Untuk Peneliti Lain
Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai data dasar untuk penelitian serupa yang akan dikembangkan lebih lanjut.



No comments:

Post a Comment