Wednesday 16 June 2010

ggk


BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pembangunan kesehatan pada hakekatnya adalah usaha yang diarahkan agar setiap penduduk dapat mewujudkan derajat kesehatan yang optimal. Upaya tersebut sampai saat ini masih menjadi kendala yang disebabkan masih tingginya masalah kesehatan, terutama yang berkaitan dengan penyakit yang dapat menghambat kemampuan seseorang untuk hidup sehat. Penyakit – penyakit tersebut diantaranya adalah Gagal Ginjal Kronik, (Depkes RI, 2002).
WHO memperkirakan setiap 1 juta Jiwa terdapat 23 – 30 orang yang mengalami Gagal Ginjal kronik per tahun. Kasus Gagal Ginjal di Dunia meningkat per tahun lebih 50%. Di Negara yang sangat maju tingkat gizinya seperti Amerika Serikat, Setiap tahunnya sekitar 20 juta orang dewasa menderita penyakit Gagal Ginjal Kronik, ( Santoso, 2007).
Giatno (2007, dalam Depkes RI 2007), pada peringatan Hari Ginjal Sedunia mengatakan hingga saat ini di Tanah Air terdapat sekitar 70 ribu orang penderita Gagal Ginjal Kronik yang memerlukan penanganan terapi cuci darah. Sayangnya hanya 7.000 penderita Gagal Ginjal Kronik atau 10% yang dapat melakukan cuci darah yang dibiayai program Gakin, Askes dan jamsostek. Sisanya sekitar 63 ribu harus pasrah menunggu nasib.
Gagal ginjal kronik saat ini merupakan masalah kesehatan yang penting mengingat selain insiden dan prevalensinya yang semakin meningkat, juga pengobatan pengganti ginjal yang harus dijalani oleh penderita gagal ginjal merupakan pengobatan yang sangat mahal yang harus di tanggung oleh penderita dan keluarganya, (Bahri, 2005). Bila ginjal tidak berfungsi, maka sisa metabolisme yang tidak dikeluarkan tubuh akan menjadi racun bagi tubuh sendiri. Racun ini akan menimbulkan keluhan mual, muntah, sakit kepala hebat sampai penurunan kesadaran. Cairan yang tidak bisa keluar dari tubuh akan menyebabkan terjadinya penumpukan cairan di seluruh rongga tubuh sehingga terjadi sembab dan sesak napas. Penyebab itulah yang menimbulkan masalah bagi penderitanya. Karena ia membutuhkan ginjal buatan untuk menyaring bahan-bahan berbahaya sisa metabolisme ke luar tubuh. Bila tidak dengan segera diatasi si penderita yang mengalami gagal ginjal pada akhirnya akan menemui kematian, (Mambo, 2006).
Jumlah pasien penderita penyakit gagal ginjal kronik di Indonesia diperkirakan 60.000 orang dengan pertambahan 4.400 pasien baru setiap tahunnya. Sedangkan jumlah mesin cuci darah yang ada di Indonesia sekitar 1.000 unit. Jumlah ini hanya bisa melayani 4.000 orang setiap tahun. Ini berarti jumlah pasien yang dapat dilayani kurang dari 10 persen, (Wijaya, 2009).
Penderita GGK di Provinsi Bengkulu setiap tahunnya mengalami peningkatan ini dapat dilihat berdasarkan data yang di dapat dari rekam medik RSUD Dr. M. Yunus Bengkulu yang dapat dilihat pada tabel 1.1.

Tabel 1.1 prevelensi pasien GGK di RSUD. Dr. M. Yunus Bengkulu

NO
TAHUN
UMUR JENIS KELAMIN
JUMLAH
5-14 15-24 25-44 45-64 >65 Lk Pr
1 2007 1 25 69 44 20 97 62 159
2 2008 1 31 71 43 30 81 95 176
3 2009
Jan-okt 4 3 30 62 28 84 43 127
Total 462
Sumber : Medical record RSUD Dr. M. Yunus Bengkulu
Berdasarkan tabel diatas dapat dilihat jumlah penderita GGK cukup tinggi dan jika di lihat dari segi umur maupun jumlah setiap tahunnya mengalami peningkatan setiap tahunnya. Penyebab terjadinya gagal ginjal adalah disebabkan oleh beberapa penyakit serius yang diderita oleh tubuh yang mana berlahan – lahan berdampak pada kerusakan organ ginjal, dan apabila penyakit GGK tidak segera mendapatkan prawatan yang intensif dapat menyebabkan kematian, (Gaspersz dan foenay, 2003)
Hampir semua kasus Gagal Ginjal Kronik di bawa ke ruang Haemodialisa (cuci darah) untuk mendapatkan tindakan pengobatan. Bagi penderita GGK diadakan haemodilisa akan mencegah kematian. Namun demikian haemodialisa tidak menyembuhkan atau memulihkan penyakit penyakit ginjal dan tidak mampumengimbangi hilangnya aktifitas metabolik atau endokrin yang dilaksanakan ginjal namun hanya sebatas upaya untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya dan mengendalikan gejala uremia, (Brunner and Suddart, 2001).
Hemodialisa merupakan suatu tindakan terapi dengan dialisa sebagai pengganti fungsi ginjal untuk menurunkan kadar racun di dalam darah. Pada proses ini zat-zat racun (toksik), air dan elektrolit yang tidak bisa dikeluarkan lagi oleh ginjal yang sakit, di bersihkan dari darah melalui proses haemodialisis. Sejak tahun 1960 haemodialisa mulai ditetapkan sebagai terapi pengganti ginjal pada pasien yang mengalami kegagalan fungsi ginjal, baik yang bersifat akut maupun kronik, (Setiawan, 2008).
Hemodialisa harus dilakukan secara teratur tanpa boleh dilewatkan satu haripun. Biasanya hemodialisa dilakukan 2 – 3 kali dalam satu minggu yang membutuhkann waktu 3 – 6 jam setiap kali melakukan hemodialisa. Hemodialisa tidak bisa dihentikan kecuali jika menjalani pencangkokan ginjal, kegiatan hemodialisa akan berlangsung terus menerus selama hidupnya (Lubis, 2006). Apabila hemodialisa tidak dilakukan atau dilewatkan hanya 1 kali maka pasien akan mengalami penurunan kesehatan dan akan jatuh kembali ke GGK yang hebat sehingga dapat mengakibatkan kematian, (Rubin, 2005).
Menurut Notoatmodjo (2003), faktor yang mempengaruhi pemanfaatan pelayanan kesehatan adalah faktor predisposisi (predisposing factor) yang terwujud dalam pengetahuan, sikap, keyakinan, pendidikan, sosial ekonomi, jarak tempuh, pekerjaan, sikap, keyakinan dan sebagainya. Faktor pendukung (enabling factor) yang terwujud dalam lingkungan fisik, tersedianya/tidaknya fasilitas dan sebagainya. Serta faktor pendorong (reforcing factor) yang terwujud dalam sikap dan prilaku petugas kesehatan, motivasi klien, dorongan dari keluarga dan sebagainya.
Salah satu faktor yang sangat mempengaruhi keteraturan pasien dalam menjalani terapi hemodialisa adalah faktor sosial yaitu pendapatan keluarga. Semakin baik tingkat pendapatan keluarga cenderung akan teratur untuk melakukan haemodialisa, hal ini dikarenakan biaya yang harus dikeluarkan oleh klien cukup besar meliputi obat, pemeriksaan laboratorium, transportsi, hemodialisis dan transplantasi. Mereka yang tinggal didaerah yang belum ada fasilitas haemodialisis tentu akan lebih sulit dan memerlukan biaya yang lebih besar untuk mencapai lokasi. Selain itu motivasi dan dukungan keluarga juga berperan dalam ketaatan seseorang menjalani terapi haemodialisa, (Indonesian Nurse, 2008 )
Di RSUD. Dr. M. Yunus Bengkulu tercatat sebanyak 44 orang penderita gagal ginjal kronik yang menjalani terapi hemodialisa tahun 2009. Berdasarkan survey awal yang dilakukan peneliti di ruang hemodialisa RSUD. Dr. M. Yunus Bengkulu dari 10 orang pasien yang melakukan hemodialisa 5 diantaranya mengatakan tidak teratur menjalani terapi hemodialisa 2 diantaranya mengatakan terlalu mahalnya biayanya dan tidak sanggup bila harus melakukanya secara rutin, 2 diantanya mengatakan jarak rumah nya terlalu jauh dari tempat terapi, dan 1 orang lagi mengatakan kurang termotivasi karena dirinya sudah tua dan takut menyusahkan anak – anak nya.

Berdasarkan uraian di atas peneliti tertarik dan berkeinginan untuk melakukan peneliti dengan judul ” Faktor – faktor yang berhubungan dengan keteraturan pasien gagal ginjal kronik menjalani program haemodialisa di ruang Hemodialisa RSUD. Dr. M. Yunus Bengkulu”.

B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang yang telah dikemukakan di atas maka didapat masalah penelitian masih terdapatnya pasien gagal ginjal kronik yang tidak teratur melakukan cuci darah. Sedangkan rumusan masalah penelitian adalah Faktor - Faktor Apakah yang Berhubungan Dengan Keteraturan Pasien Gagal Ginjal Kronik Menjalani Program Haemodialisa di Ruang Haemodialisa RSUD. Dr. M. Yunus Bengkulu.

C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui factor-faktor yang berhubungan dengan keteraturan pasien gagal ginjal kronik menjalani progam haemodialisa.
2. Tujuan Khusus
a. Untuk mengetahui gambaran keteraturan pasien gagal ginjal kronik yang menjalani program haemodialisa di ruang haemodialisa RSUD. Dr M. Yunus Bengkulu.
b. Untuk mengetahui gambaran pendapatan keluarga pasien gagal ginjal kronik yang menjalani program hemodialisa RSUD. Dr M. Yunus Bengkulu.
c. Untuk mengetahui gambaran jarak tempuh pasien gagal ginjal kronik yang menjalani program haemodialisa di ruang haemodialisa RSUD. Dr M. Yunus Bengkulu.
d. Untuk mengetahui gambaran motivasi pasien Gagal ginjal kronik untuk menjalani program haemodialisa di ruang haemodialisa RSUD. Dr M. Yunus Bengkulu.
e. Untuk mengetahui hubungan pendapatan keluarga dengan keteraturan pasien GGK menjalani program haemodialisa di ruang haemodialisa RSUD. Dr M. Yunus Bengkulu.
f. Untuk mengetahui hubungan jarak tempuh dengan keteraturan pasien GGK menjalani program haemodialisa di ruang haemodialisa RSUD. Dr M. Yunus Bengkulu.
g. Untuk mengetahui hubungan motivasi pasien GGK dengan keteraturan menjalani program haemodialisa di ruang haemodialisa RSUD. Dr M. Yunus Bengkulu





D. Manfaat Penelitian
1. Untuk RSUD Dr. M. yunus Bengkulu
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai faktor-faktor yang berhubungan dengan keteraturan pasien GGK menjalani program haemodialisa di ruang haemodialisa RSUD. Dr M. Yunus Bengkulu.
2. Untuk Akademis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi ilmiah yang dapat bermanfaat dalam mengembangkan kurikulum keperawatan medikal bedah dan sebagai sumber pustaka yang berhubungan dengan gagal ginjal kronik dan Haemodialisa.
3. Untuk Peneliti Lain
Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai data dasar untuk penelitian serupa yang akan dikembangkan lebih lanjut.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Dasar Gagal Ginjal Kronik
1. Pengertian
Gagal ginjal kronik adalah ganguan fungsi renal yang progresif dan irevesibel dimana kemampuan tubuh gagal untuk mempertahankan metabolisme dan keseimbangan cairan dan elektrolit yang menyebabkan uremia, ( Brunner dan Suddarth, 2001 )
Gagal ginjal kronis adalah kerusakan ginjal progresif yang berakibat fatal dan ditandai dengan uremia (urea dan limbah nitrogen lainnya yang beredar dalam darah serta komplikasinya jika tidak dilakukan dialysis atau tranplantasi gijal), (Nursalam dan fransisca,2008).
Gagal ginjal kronik adalah penurunan fungsi ginjal yang progresif dan irevesibel, dimana ketidak mampuan renal berfungsi dengan adekuat untuk keperluan tubuh (harus dibantu dengan dialisis atau transplantasi), (Masnjoer, 2001)
Gagal ginjal kronik adalah ketidak mampuan ginjal mengejakan fungsinya. Statusnya dalah total atau hampir tidak mampu membuang produk sisa metabolisme dan mempertahankan keseimbangan cairan dan elektrolit (termasuk keseimbangan asam dan basa), serta tidak mampu mengendalikan tekanan darah, (Long, 1996). Gagal giinjal kronik merupakan perkembangan gagal ginjal yang progresif dan lambat (biasanya berlangsung beberapa tahun), (Wilson, 2005).
2. Etiologi
Menurut Brunner dan Suddarth, 2001. Gagal ginjal kronik dapat disebabkan oleh beberapa factor antara lain:
a) Infeksi (peradangan)
Gagal ginjal kronoik yang disebabkan oleh infeksi seperti :
1) Plienofitis
Merupakan infeksi saluran kemih yang bagian atas, infeksi ini menyebabkan refluk (gerakan balik) dari urine yang terinfeksi kedalam ureter dan masuk ke ginjal (refluk internal) yang akan mengakibatkan cidera ginjal yang progresif.
2) Glomerulonefitis
Merupakan penyakit peradangan glomerulus bilateral sehingga tidak dapat melakukan proses filtrasi sempurna akibatnya akan dimanifestasikan dengan hematuri/proteinuria, lesi pertama biasanya pada glomerulus dan ahirnya menyebar pada seluruh pada nefron.
b) Nefrosklerosis Maligna (Hipertensi)
Hipertensi yang berlangsung lama dapat menyebabkan perubahan-perubahan pada stuktur arteriole yang berupa fibriosis dan sklerosis dinding vasculer akibatnya terjadi penyempitan lumen pembuluh darah intra renal dan ginjal kekurangan darah lama-lama ginjal atropi dari keadaan ini nefron tidak dapat berfungsi dengan baik.
c) Gangguan Jaringan Penyambung
Penyakit Jaringan Penyambungambung yang dapat menyebabkan gagal ginjal kronik seperti SLE yang mengakibatkan terperangakapnya reaksi antigen dan anti body disirkulisasi pada ginjal poliatritis nodosa yang mengakibatkan radang dari nekrosis pada arteri renalis dan skleroderma yang mengakibatkan sklerosis pada ginjal. Ketiga ppenyakit ini akan membuat nefron tidak dapat menjalankan fungsinya dengan baik.
d) Penyakit Metabolik
Penyakit-panyakit metabolic yang menyebabkan gagal ginjal kronik antaralain DM, gout, hiperparatiroid, dan amilohidosis. Kelebihan zat-zat pada penyakit tersebut akan menyebabkan endapan pada ginjal yang bias menimbulkan kerusakan-kerusakan pada ginjal.
e) Gangguan Kongiunetal dan Heriditer (penyakit ginjal poli gistik)
Suatu keadaan ginjal bawaan dimana terdapat rongga kista yang akan menekan ginjal sehingga lama-lama akan terjadi penghancuran parenkim ginjal dan akan terjadi pembesaran ginjal karena kista seperti buah anggur terisi cairan darah.
f) Nefropati Obstruktif.
Obtruksi saluran kemih bagian atas karena kalkuli, neoplasma, dan obstruksi saluran kemih bagian bawah karena hipertropi prostat dapat mengakibatkan refluk keginjal ( hidronefprosis) selain itu urine refluk ke ginjal juga mengandung kuman, kedua hal ini akan membuat kerusakan pada ginjal.
g) Obat-Obatan
Penyalah gunaan analgesic nefropati timbal bisa menjadi toksik. Obat-obatan bisa masuk ke ginjal melalui aliran darah, insufiensi ginjal yang mengakibatkan konsentrasi cairan dalam tubulus akibatnya tubuh akan lelah/lemah jika ini terjadi dalam waktu yang cukup lama.


















3. Patofisiologi
Ganguan Hipertensi Infeksi perradangan Gangguan Penyykit Obstruksi Obat dan
Metabolic (pielonefitis dan kongerital jaringan traktus racun
Glomerunefritis) Heredital penyambung urinarius


Terjadi kerusakan
Nefron 70-80%
Menurunnya fungsi ginjal
Penurunan GFR

GFR turun 50%-75 Penurunan GFR 20-35% Penurunan GFR 5%-25%

Tidak ada Sisa Kerusakan Nefron Nefron Banya Rusak
Metabolik (Nefron (beratnya beban)
Sehat mengkompensasi Jaringan Parut
Nefron rusak ) Akumulasi Sisa Metabolik
Atrofi Ginjal
Penurunan Komponen Penurunan Respon Diuretik
Konsentrasi urine
Oliguria Gagal Ginjal akut
Nocturia dan poliuria
Oedema
Penurunan fungsi ganjal
Insufiensi Ginjal
Bagan II.I. Patofisiologi Gagal Ginjal Kronik (Brunner dan Suddrat, 2001)
4. Stadium gagal ginjal kronik
Perjalanan umum gagal ginjal kronik menurut Suharyanto dan Madjid, (2009) dapat dibagi menjadi 3 (tiga) stadium, yaitu:
a) Stadium I, dinamakan penurunan cadangan ginjal.
Selama setadium ini kreatinin serum dan kadar BUN normal, dan penderita asimtomatik. Ganguan fungsi ginjal hanya dapat diketahui dengan tes pemekatan kemih dan tes GFR yang diteliti.
b) Stadum II, dinamakan insufiensi ginjal.
1) Pada setadium ini, dimana lebih 75% jaringan yang berfungsi telah rusak.
2) GFR besarnya 25% dari normal
3) Kadar BUN dan kreatinin serum mulai meningkat dari normal.
4) Gejala-gejala nokturia atau sering berkemih dimalam hari sampai 700 ml dan poliuria (akibat dari kegagalan pemekatan) mulai timbul.
c) Stadium III, dinamakan stadium ahir atau uremia.
1) Sekitar 90% dari masa nefron telah hancur atau rusak, atau sekitar 200.000 nefron saja yang masih utuh.
2) Nilai GFR hanya 10% dari keadaan normal.
3) Kreatinin serum dann BUN akan meningkat dengan mencolok.
4) Gejala-gejala yang timbul karena ginjal tidak sanggup lagi mempertahankan homeotastis cairan elektrolit dalam tubuh, yaitu oliguri karena kegagalan glomerulus, sindrom uremik.

5. Manifestasi Klinis.
Gagal ginjal karonik merupakan sebutan bagi kondisi gagal ginjal yang ditandai dengan keadaan klinis yang menunjukkan penurunan progresif fungsi ginjal secara perlahan tetapi pasti yang dapat mencapai 60% dari kondisi normal, menuju ketidak mampuan ginjal. Gejala utama dari gagal ginjal kronik berupa, keluhan rasa sakit didaerah pinggang yang dapat disertai dengan rasa mual, muntah, gatal-gatal pada kulit, lemas, lesu, cepat lelah, nafsu makan menurun, frekuwensi dalam buang air kecil dan jumlah urine berubah, libido menurun beserta menstrulasi yang tidak teratur. (Lubis. A, 2006)
Manifestasi klinis gagal ginjal kronik menurut Wilson, (2005) antara lain sebagai berikut:
a. Biokimia
Asidosis, Metabolik (HCO3 serum 18-20 mEq/L), Azotemia (penuruna GFR, meyebabkan peningkatan BUN dan kreatinin) Hiperkalemia, Retensi atau pembuangan Na Hipermagnesia, Hiperurisemia.
b. Saluran Cerna
Anoreksia, mual muntah, menyebabkan penurunan berat badan, Nafas bau amoniak, Rasa kecap logam, mulut kering, Stomatitis, Parotitis, Gastritis, Entritis, Pendarahan saluran cerna, Diare.


c. Genitourinaria
Poliuria, berlanjut menuju oliguri, lalu anuria, Nokturia, pembalikan irama diurnal, Berat Jenis kemih tetap sebesar 1,010, Proteinuria, Silinder, Hilangnya Libido, Amenore, Impotensi dan Sterilitas.
d. Metabolisme
Protein–intoleransi, Sintensis abnormal karbohidrat Hiperglikemia, kebutuhan insulin menurun, Lemak - peningkatan kadar trigliserida, Mudah lelah.
e. Neuromuskuler
Mudah lelah, Otot mengecil dan lemah, SSP : penurunan ketajamann mental, konsentrasi buruk, apatis, letargi/gelisah, insomnia kekacauan mental, Koma, Otot berkedut, Asteriksis, Kejang. Neuropati Perifer : konduksi saraf lambat, perubahan sensorik pada ekstremitas – parestesi, perubahan motorik – food drop yang berlanjut menjadi menjadi paraplegia.
f. Kardiovaskuler
Hipertensi, Retinparti dan Ensefalopati hipentensif, Beban sirkulasi berlebihan, Edema, Gagal jantung kongestif, Perikarditis dan Disritmia.
g. Ganguan Kalsium dan Rangka
Hiperposfatemia, Hipokalsemia, Hiperparatiroidtisme sekunder. Osteodistrofi, Fraktur patologik (demineralisasi tulang), Deposit garam kalsium pada jaringan lunak (sekitar sendi, pembuluh darah, jantung dan paru). Konjungtifitis (uremia mata merah).
h. Pernapasan
Pernapasan Kussmaul, Dispnea, Edema paru, Pneumonitis.
i. Kulit
Pucat, Pigmentasi, Perubahan Kulit dan Kuku (kuku mudah patah, tipis, bergerigi, ada garis-garis merah-biruyang berkaitan dengan kehilangan protein), Pruritus, Kristal uremik, Kulit kering, dan Memar.
j. Hematologi
Anemia menyebabkan kelelahan, Hemolisis, Kecendrungan pendarahan, Menurunya resistennsi terhadap infeksi (infeksi saluran kemih, pneumonia, septicemia).
6. Komplikasi
Menurut Smeltzer (2000), komplikasi potensial gagal ginjal kronik yang memerlukan pendekatan kolaboratif dalam perawatan, mencakup :
a. Hiperkalemia
Akibat penurunan ekskresi, asidosis metabolik, katabolisme dan masukan diet berlebih.
b. Perikarditis
Efusi perikardial , dan tamponade jantung akibat retensi produk sampah uremik dan dialisis yang tidak adekuat.


c. Hipertensi
Akibat retensi cairan dan natrium serta mal fungsi sistem renin, angiotensin, aldosteron.
d. Anemia
Akibat penurunan eritropoetin, penurunan rentang usia sel darah merah, perdarahan gastro intestinal.
e. Penyakit tulang serta kalsifikasi metastatik akibat retensi fosfat.
f. Asidosis
Keadaan pada saat darah terlalu banyak mengandung asam (atau terlalu sedikit mengandung basa) dan sering menyebabkan menurunnya pH darah.
g. Hiperurisemia
Terjadi akibat meningkatnya produksi ataupun menurunnya pembuangan asam urat, atau kombinasi dari keduanya.
7. Penatalasanaan Gagal Ginjal Kronik..
a. Pemeriksaan Penunjang.
Menurut Doenges (2000) pemeriksaan penunjang pada pasien GGK adalah :
1) Laboratorium.
a) Volume urine, Biasanya kurang dari 400 ml/ 24 jam (fase oliguria) terjadi dalam (24 jam – 48) jam setelah ginjal rusak.
b) Warna Urine, Kotor, sedimen kecoklatan menunjukan adanya darah.
c) Berat jenis urine Kurang dari l,020 menunjukan penyakit ginjal contohnya glomerulonefritis, pielonefritis dengan kehilangan kemampuan memekatkan menetap pada l, 0l0 menunjukkan kerusakan ginjal berat.
d) pH Lebih besar dari 7 ditemukan pada ISK, nekrosis tubular ginjal dan rasio urine/ serum saring (1 : 1).
e) Kliren kreatinin Peningkatan kreatinin serum menunjukan kerusakan ginjal.
f) Natrium Biasanya menurun tetapi dapat lebih dari 40 mEq/ ltr bila ginjal tidak mampu mengabsorpsi natrium.
g) Bikarbonat Meningkat bila ada asidosis metabolik.
h) Protein Proteinuria derajat tinggi (+3 – +4 ) sangat menunjukkan kerusakan glomerulus bila Sel darah merah dan warna Sel darah merah tambahan juga ada. Protein derajat rendah (+1 – +2) dan dapat menunjukan infeksi atau nefritis intertisial.
i) Warna tambahan Biasanya tanda penyakit ginjal atau infeksi tambahan warna merah diduga nefritis glomerulus.
j) Hemoglobin, Menurun pada anemia.
k) Sel darah merah, Sering menurun mengikuti peningkatan kerapuhan / penurunan hidup.
l) Kreatinin, Biasanya meningkat pada proporsi rasio (l0:1).
m) Osmolalitas, Lebih besar dari 28,5 m Osm/ kg, sering sama dengan urine
n) Kalium, Meningkat sehubungan dengan retensi urine dengan perpindahan seluler (asidosis) atau pengeluaran jaringan (hemolisis sel darah merah).
o) Natrium, Biasanya meningkat, tetapi dapat bervariasi.
p) pH, Kalium & bikarbonat, Menurun.
q) Klorida fosfat & Magnesium, Meningkat.
r) Protein, Penurunan pada kadar serum dapat menunjukan kehilangan protein melalui urine, perpindahan cairan penurunan pemasukan dan penurunan sintesis karena kekurangan asam amino esensial.
2) Radiologi
1) Pemeriksaan EKG, Untuk melihat adanya hipertropi ventrikel kiri, tanda perikarditis, aritmia,dan gangguan elektrolit (hiperkalemi, hipokalsemia)
b) Pemeriksaan USG, Menilai besar dan bentuk ginjal, tebal korteks ginjal, ureter proksimal dan kandung kemih.
c) Pemeriksaan Radiologi, Renogram, Intravenous Pyelography, Retrograde Pyelography, Renal Aretriografi dan Venografi, CT Scan, MRI, Renal Biopsi, pemeriksaan rontgen dada, pemeriksaan rontgen tulang, foto polos abdomen
b. Tindakan Konservatif
1) Perawatan diet protein, kalium, natrium, dan cairan.
Tindakan ini dilakukan penderita yang mengalami azotemia yang bertujuan untuk merendahkan atau menghambat gangguan ginjal.
a) Pengontrolan Keseimbangan cairan Masuk dengan keluar dalam 24 jam (Balance Intake Output)
b) Pembatasan jumlah protein (Diit rendah protein).
c) Pembatasan pemberian natrium / garam, bertujuan untuk menurunkan tekanan darah, oedema atau bendungan paru.
d) Pembatasan pemberian kalium
Untuk mencegah / mengurangi aritmia / henti jantung dengan cara mengurangi konsumsi buah-buahan dan sayuran yang mengandung tinggi kalium.
e) Pemberian Tranfusi, pencegahan pendarahan dan pemberian vitamin untuk mengurangi anemia.
f) Mengurangi asupan asam urat dalam tubuh.
Dengan cara diit rendah asam urat, misalnya menghindari konsumsi jeron dan lain-lain atau dengan pemberian kolkisin pada gout.
g) Diit Tinggi kalsium.
Dengan mengkonsumsi makanan yang mengandung kalsium, misalnya susu tinggi kalsium, Selain itu usaha diit untuk menurunkan kadar fosfat juga meningkatkan kadar kalsium.
h) Pengobatan Segera Terhadap infeksi
Untuk mencegah infeksi sampai / masuk ke ginjal karena penderita gagal ginjal kronik terjadi penurunan imunitas
c. Terapi yang diberikan pada klien gagal ginjal kronis.
Terapi yang diberikan pada klien gagal ginjal kronis menurut Djibril, (2008). Atara lain adalah:
1) Klien diberikan tensivask 1x1 yang berfungsi untuk menurunkan hipertensi klien
2) Klien kekurangan kalsium, pemeriksaan Lab menunjukan kalsium klien hanya 6,8 mmol/dl. Normalnya adalah 8.1-10.4 mmol/dl. Oleh karena itu klien diberikan terapi CaCO3 (Calsium Carbonat) 3x1 yang berfungsi untuk meningkatkan kalsium dalam tubuh.
3) Klien diberikan Infus D5 lini mikro, artinya klien diberikan cairan infus asal netes menggunakan mikro drip. Pada klien gagal ginjal kronis pemasukan cairan harus dibatasi, karena ginjalnya telah rusak maka kehilangan keseimbangan untuk mengatur cairan dan elektrolit dalam tubuh. Oleh karena itu cairan yang masuk asal netes, karena untuk meminimalkan kerja ginjal yang rusak.
4) Klien mengalami konjungtiva anemis, karena ginjal telah rusak maka produksi eritripoetinya berkurang dan sel darah merah juga kurang. Oleh karena itu klien diberikan terapi asam folat untuk pematangan sel darah merah.
5) Klien mengalami sesak. untuk mengurangi rasa sesak, maka klien diberikan terapi oksigen 2-3 L.
6) Rencana diberikan tranfusi PRC 2 lbu jika hiperkaleminya tertangani. Jika klien diberikan tranfusi saat kaliumnya tinggi, maka tranfusinya tidak akan efektif. Darah yang masuk kemungkinan besar akan rusak, karena kalium dapat melisiskan darah.
7) Klien diberiakan RI(Regional Insulin) 10 IU (internasional Unit) dalam Dex 40% 2 Fl. (Flakon) Bolus. Glukosa, Insulin atau klsium glukonat dapat digunakan sebagai tindakan darurat sementara untuk menangani hiperkalemia. Glukosa dan insulin mendorong kalium kedalam sel sehingga kadar serum kalium menurun sementara sampai kalium diambil melalui proses dialisa.
d. Pencegahan dan Pengobatan Komplikasi
Pencegahan dan pengobatan komplikasi menurut Suharyanto dan Madjid, 2009 antara lain sebagai berikut
1) Pencegahan Komplikasi
Pengaturan diet protein, kalium, natrium dan cairan
a) pembatasan protein.
Pembatasan protein tidak hanya mengurangi kadar BUN, tetapi juga mengurangi asupan kalium pada fosfat, serta mengurangi produksi ion hydrogen yang berasal dari protein.pembatasan asupan protein telah terbukti menormalkan kembali kelainan ini dan memperlambat terjadinya gagal ginjal. Jumlah kebutuhan protein biasanya dilonggarkan sampai 60-80 g/hari, apabilla penderita mendapatkan pengobatan dialisis teratur.
b) Diet rendah kalium
Hiperkalemia biasanya merupakan masalah pada gagal ginjal lanjut.Asupan kalium dikurangi.Diet yang di anjurkan adalah 40-80 mEq/hari.pengunaan makanan dan obat-obatan yang tinggi kadar kaliumnya dapat menyebabkan hiperkalemia.


c) Diet rendah natrium.
Diet Na yang di anjurkan adalah 40-90mEq/hari(1-2gNa).Asupan natrium yang terlalu longgar dapat menyebabkan retensi cairan, oedema, perifer, oedema paru, hipertensi dan gagal ginjal kongestif.
d) Pengaturan cairan
Cairan yang diminum penderita gagal ginjal tahap lanjut harus diawasi dengan seksama.parameter yang tepat untuk diikuti selain data asupan dan pengeluaran cairanyang di catat dengan tepat adalah pengukuran Berat harian.Asupan yang bebas dapat menyebabkan beban sirkulasi menjadi berlebihan,dan, edema.sedangkan asupan yang terlalu rendah mengakibatkan dehidrasi,hipotensi dan gangguan fungsi ginjal.
Aturan yang dipakai untuk menentukan banyaknya asupan cairan adalah

Misalnya jika jumlah urin yang dikeluarkan dalam waktu 24 jam adalah 400ml,maka asupan cairan total dalam sehari adalah 400+500 ml =900 ml.
2) Pengobatan komplikasi gagal gijal kronik
a) Hipertensi
1) Hipertensi dapat dikontrol dengan pembatasan natrium dan cairan.
2) Pemberian obat antihipertensi, metildopa (aldomet) propranolol, klonidin (catapres.)
Apabila penderita sedang mengalami terapi hemodialisa, pemberian anti hipertensi dihentikan karena dapat mengakibatkan hipotensi dan syok yang diakibatkan oleh keluarnya cairan intravaskuler melalui ultrafiltrasi.
3) Pemberian diuratik, furasemid (lasik)
b) Hiperkalemia,
Hiperkalemia merupakan komplikasi yang sangat serius, karena bila K+ serum mencapai sekitar 7 an mEq/L, dapat mengakibatkan aritmia dan juga henti jantung .
Hiperkalemia dapat diobati dengan pemberian glukosa dan insulin intravena,yang akan memasukan K+ kedalam sel ,atau dengan pemberian Kalsium Glukonat 10%.
c) Anemia
Anemia pada gagal ginjal kronik diakibatkan penurunan sekresi erittroporitin oleh ginjal.pengobatanya adalah pemberian hormone eritropoitin.yaitu rekombinan eritropoitin (r-EPO), selain dengan pemberian vitamin dan asam Folat,besi dan tranfusi darah.
d) Asidosis
Asdosis ginjal biasanya tidak diobati kecuali HCO3 plasm turun di bawah angka 15 mEq/L.Bila asidosis berat akan dikoreksi deng an pemberian NaHCO3 (natrium bikarbonat parentral) koreksi PH darah yang berlebihan dapat menimbulkan tetani, maka harus dimonitor dengan seksama.
e) Pengobatan Hiperurisemia
Obat pilihan untuk mengobati hiperuresemia pada penyakit ginjal adalah dengan pemberian alupurinol. obat ini mengurangi kadar asam urat dengan menghambat biosintesis sebagian asam urat total yang dihasilkan tubuh.
e. Dialisis.
1) Hemodialisis
Hemodialisis adalah proses pembersihan darah oleh akumulasi sampah buangan. Hemodialisis digunakan bagi pasien dengan tahap ahir gagal ginjal atau pasien yang berpenyakit akut yang membutuhkan haemodialisis, (Nursalam dan fansisca. 2008)
Hemodialisa merupakan suatu tindakan terapi dengan dialisa sebagai pengganti fungsi ginjal untuk menurunkan kadar racun dalam di dalam darah. Pada proses ini zat-zat racun (toksik), air dan elektrolit yang tidak bisa dikeluarkan lagi oleh ginjal yang sakit, di bersihkan dari darah melalui proses haemodialisis, (Setiawan, 2008).
2) Manfaat Hemodialisa
a) Meningkatkan kualitas hidup bagi penderita gagal ginjal terminal.
b) Meningkatkan status fungsional penderita gagal ginjal terminal agar tetap dalam kondisi baik prima
3) Komplikasi Diadilisis
Menurut Suharyanto dan Madjid, (2008). Meskipun hemodialisis dapat memperpanjang usia tanpa batas yang jelas, tindakan ini tidak akan mengubah perjalanan alami peykit ginjalyang mendasari dan mengendalikan seluruh fungsi ginjal. Pasien akan teetap mengalami sejumlah permasalahan dan komplikasi. Salah satu penyebab kematian diantara pasien-pasien yang menjalani dialisis kronis adalah penyakit kardiovascular arteriosklerotik. Gangguan metabolisme lipid (hipertrigliseridemi) tampaknya semakin diperberat dengan tindakan haemodialisis.
Gagal jantung kongesif, penyakit jantung koroner serta nyeri angina pectoris., stroke dan insufiensi vaskuler perifer juga dapat terjadi serta membuat pasien tidak berdaya. Komplikasi dialsis dapat mencakup hal-hal sebagai berikut:
a. Hipotensi, dapat terjadi selama terapi dialiisis ketika cairan dikeluarkan.
b. Emboli udara, merupakan komplikasi yang jarang terjadi tetapi dapat terjadi jika udara memasuki system vaskuler.
c. Nyeri dada, dapat terjadi karena PCO2 menurun bersamaan dengan sikulasi darah diluar tubuh.
d. Pruritus, dapat terjadi selama dialisis ketika produk ahir metabolisme meninggalkan kulit.
e. Gangguan keseimbangan dialisis, terjadi karena perpindahan cairan selebral dan muncul berbagai serangan kejang. Komplikasi ini kemungkinan terjadi lebih besar jika terdapat gejala uremia yang berat.
f. Kram otot, terjadi ketika cairan dan elektrolit dengan cepat meninggalkan ruang ekstra sel.
g. Mual muntah, merupakan peristiwa yang sering terjadi.
f. Dialisis peritonial
Dialisis peritoneal adalah suatu tindakan untuk membuang metabolisme dalam dalam darah yang berlebihan akibat gangguan ginjal kronik (GGK) melalui dinding abdomen sebagai membran semi parmiabel secara difusi dan ultrafiltrasi osmosis. Cairan dialysis yang tinggi glukosa masuk kedalam rongga peritoneal dengan diding abdomen sebagai membrane semi permiabel akan terjadi perpindahan solute-solut yang berlebihan dalam darah kecairan dialisit tinggi glukosa maka cairn yang berlebihan dalam rongga peritoneal tertrik glukosa secara osmosis, akibat perbedaan tekanan cairan juga akan pindah secara ultrafiltrasi, maka kelebahhan solute dan cairan dalam tubuh akan di keluarkan bersama cairan dialist dari tubuh dengan bantuan gaya gravitasi, (Long, 1996)
g. Tranplantasi ginjal
Tranplantasi ginjal adalah suatu tindakan yang dilakukan pada pasien gagal ginjal kronik (GGK) dengan menanamkan ginjal sehat dari orang lain pada fosa illiaka anterior Krista illiaka untuk menggantikan ginjal yang rusak. Trnplantasi ginjal bertujuan agar pasien gangguan ginjal kronik (GGK) tidak tergantung lagi dengan obat atau tidakan dialysis, (Doenges, 2000)




B. Konsep Prilaku dan Keteraturan berobat
1) Pengertian Perilaku
Perilaku dalam pandangan biologis adalah merupakan suatu kegiatan atau aktivitas organisme yang bersangkutan. Jadi perilaku manusia pada hakikatnya adalah suatu aktivitas pada manusia itu sendiri, (Notoatmodjo,2003)
Perilaku adalah tindakan atau aktivitas dari manusia itu sendiri yang mempunyai bentangan yang sangat luas antara lain : berjalan, berbicara, menangis, tertawa, bekerja, kuliah, menulis, membaca, dan sebagainya. Dari uraian ini dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud perilaku manusia adalah semua kegiatan atau aktivitas manusia, baik yang diamati langsung, maupun yang tidak dapat diamati oleh pihak luar, (Notoatmodjo,2003).
Perilaku merupakan respon atau reaksi seseorang terhadap stimulus atau rangsangan dari luar. Oleh karena perilaku ini terjadi melalui proses adanya stimulus terhadap organisme, dan kemudian organisme tersebut merespons, maka teori Skinner ini disebut teori “S-O-R” atau Stimulus – Organisme – Respon, (Skinner,2003)
Dilihat dari bentuk respon terhadap stimulus ini, maka perilaku dapat dibedakan menjadi dua (Notoatmodjo, 2003) :
a) Perilaku tertutup (convert behavior)
Perilaku tertutup adalah respon seseorang terhadap stimulus dalam bentuk terselubung atau tertutup (convert). Respon atau reaksi terhadap stimulus ini masih terbatas pada perhatian, persepsi, pengetahuan, kesadaran, dan sikap yang terjadi pada orang yang menerima stimulus tersebut, dan belum dapat diamati secara jelas oleh orang lain.
b) Perilaku terbuka (overt behavior)
Respon seseorang terhadap stimulus dalam bentuk tindakan nyata atau terbuka. Respon terhadap stimulus tersebut sudah jelas dalam bentuk tindakan atau praktek, yang dengan mudah dapat diamati atau dilihat oleh orang lain.
2) Prilaku Kesahatan
Perilaku kesehatan menurut Notoatmodjo (2003), adalah suatu respon seseorang (organisme) terhadap stimulus atau objek yang berkaitan dengan sakit atau penyakit, sistim pelayanan kesehatan, makanan, dan minuman, serta lingkungan. Dari batasan ini, perilaku kesehatan dapat diklasifikasikan menjadi 3 kelompok :
a) Perilaku pemeliharaan kesehatan (health maintanance).
Adalah perilaku atau usaha-usaha seseorang untuk memelihara atau menjaga kesehatan agar tidak sakit dan usaha untuk penyembuhan bilamana sakit.
b) Perilaku pencarian atau penggunaan sistem atau fasilitas kesehatan, atau sering disebut perilaku pencairan pengobatan (health seeking behavior).
Perilaku ini adalah menyangkut upaya atau tindakan seseorang pada saat menderita penyakit dan atau kecelakaan.
c) Perilaku kesehatan lingkungan
Adalah apabila seseorang merespon lingkungan, baik lingkungan fisik maupun sosial budaya, dan sebagainya.
3) Keteraturan Berobat
Keteraturan adalah suatu perilaku dari seseorang yang secara tetap dan periodic untuk melakukan aktivitasnya,perilaku itu sendiri di pandang dari segi biologis adalah suatu kegiatan organisme yang bersangkutan. Jadi perilaku manusia pada hakekatnya adalah aktivitas dari manusia itu sendiri.Baik yang dapat dicermati secara langsung maupun seseorang pada dasarnya adalah respon seseorang / organisme terhadap stimulus yang berkaitan dengan sakit dan penyakitnya.Sistem pelayanan kesehatan dan pengobatan, (Notoadmojo, 1997).
Kepatuhan adalah suatu prilaku manusia yang taat terhadap aturan, perintah, prosedur dan disiplin (Ali, 1993). Nurbaiti (2004), mengemukakan kepatuhan dapat dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal, seperti usia, pendidikan, pengetahuan dan masa kerja. Sementara menurut Notoatmodjo (2003), faktor yang mempengaruhi kepatuhan adalah pendidikan, usia, dan motivasi.
Banyak faktor yang mempengaruhi keteraturan pasien Gagal Ginjal Kronik dalam menjalani perawatan hemodialisa. Faktor-faktor tersebut antara lain tingkat pengetahuan penderita, tingkat ekonomi, sikap pasien, usia, dukungan keluarga, jarak dengan pusat hemodialisa, nilai dan keyakinan tentang kesehatan, derajat penyakit, lama menjalani hemodialisa, motivasi dan faktor keterlibatan tenaga kesehatan. Kepatuhan pasien dalam menjalani hemodialisa dapat memperpanjang umur dan mendapatkan kesehatan yang lebih baik, (Fitriani, 2010)
Kepatuhan terapi pada penderita hemodialisa merupakan hal yang penting untuk diperhatikan, karena jika pasien tidak patuh akan terjadi penumpukan zat-zat berbahaya dari tubuh hasil metabolisme dalam darah. Sehingga penderita merasa sakit pada seluruh tubuh dan jika hal tersebut dibiarkan dapat menyebabkan kematian. Pada dasarnya penderita gagal ginjal baik akut maupun kronik sangat tergantung pada terapi hemodialisa yang fungsinya menggantikan sebagian fungsi ginjal, (Sunarni, 2009).
Hemodialisa harus dilakukan secara teratur tanpa boleh dilewatkan satu haripun. Biasanya hemodialisa dilakukan 2 – 3 kali dalam satu minggu yang membutuhkann waktu 3 – 6 jam setiap kali melakukan hemodialisa. Hemodialisa tidak bisa dihentikan kecuali jika menjalani pencangkokan ginjal, kegiatan hemodialisa akan berlangsung terus menerus selama hidupnya (Lubis, 2006). Apabila hemodialisa tidak dilakukan atau dilewatkan hanya 1 kali maka pasien akan mengalami penurunan kesehatan dan akan jatuh kembali ke GGK yang hebat sehingga dapat mengakibatkan kematian, (Rubin, 2005).

C. Pendapatan Keluarga
Pendapatan menurut ilmu ekonomi merupakan nilai maksimum yang dapat dikonsumsi oleh seseorang dalam suatu periode dengan mengharapkan keadaan yang sama pada akhir periode seperti keadaan semula. Pengertian tersebut menitikberatkan pada total kuantitatif pengeluaran terhadap konsumsi selama satu periode. Dengan kata lain, pendapatan adalah jumlah harta kekayaan awal periode ditambah keseluruhan hasil yang diperoleh selama satu periode, bukan hanya yang dikonsumsi, (Rustam, 2002). Pendapatan Keluarga adalah jumlah rata-rata pendapatan per bulan dalam enam bulan terakhir yang diperoleh dari pekerjaan suami atau istri (dalam rupiah), (Budiadi dan Murti, 2006).
Pendapatan (income) adalah kegiatan yang bertujuan memasukkan uang/harta. Biasanya pendapatan dapat diperoleh dari dua aktivitas, yaitu Gaji dan Investasi. Gaji diperoleh dari status kita sebagai pegawai ,karyawan, professional/konsultan. Dalam sebuah keluarga gaji ini bisa diperoleh oleh suami dan istri yang bekerja. Hasil Investasi diperoleh dari aktivitas kita dalam mengembangkan uang/harta dalam berbagai cara, (Ziddu, 2009).
Tingkat ekonomi atau penghasilan yang rendah akan berhubungan dengan pemanfaatan pelayanan kesehatan maupun pencegahan. Seseorang kurang memanfaatkan pelayanan kesehatan yang ada mungkin karena tidak mempunyai cukup uang untuk membeli obat atau membayar transportasi, (Notoadmodjo,1997).
Tingkat ekonomi dapat mempengaruhi pemilihan metode terapi yang akan digunakan oleh klien gagal ginjal kronis. Biaya yang harus dikeluarkan oleh klien cukup besar meliputi obat,pemeriksaan laborat,transportsi,hemodialisis dan transplantasi.Aspek penting lain dari biaya adalah adanya komplikasi atau efek samping yang timbul akibat tindakan hemodialisis dan transplantasi, (Indonesian Nursre, 2008). Pendapatan Keluarga diukur dengan banyaknya akumulasi pendapatan semua anggota keluarga, setelah dikonpersi menjadi per bulan, jadi satuannya adalah rupiah per bulan (Rp/bulan). Sebagai patokan atau standar dalam menentukan rendah atau tidak pendapatan keluarga adalah dengan membandingkan dengan upah minimum provinsi (UMP) Bengkulu Menurut standar BPS tahun 2009 , upah minimum yang diterima Rp. 1.400.552.

D. Jarak Tempuh
Jarak adalah angka yang menunjukkan seberapa jauh suatu benda berubah posisi melalui suatu lintasan tertentu. Dalam fisika atau dalam pengertian sehari-hari, jarak dapat berupa estimasi jarak fisik dari dua buah posisi berdasarkan kriteria tertentu (misalnya jarak tempuh antara Jakarta-Bandung). (Wikipedia, 2008)
Jarak tempuh menurut Soedinar (1997). adalah jauh dekatnya antara suatu tempat ke tempat lain. Jarak yang jauh akan menghambat orang untuk mengkunjungi suatu tempat pengobatan dan jarak yang dekat akan mempengaruhi seseorang untuk datang ketempat pengobatan. Jarak adalah jarak antara rumah tempat tinggal dan tempat layanan kesehatan (dalam Km). Menurut Supriani, (dalam Oktasari, 2007). Jarak Rumah dekat ( < 5 km ) dari tempat pengobatan akan lebih teratur / patuh dibandingkan dengan jarak ( > 5 km ) dari tempat pengobatan.
Jarak pusat haemodialisa dengan tempat tinggal pasien juga kemudahan terjangkau oleh transportasi umum juga berpengaruh terhadap kepatuhan seseorang dalam menjalani terapi haemodialisis. Mereka yang tinggal didaerah yang belum ada fasilitas haemodialisis tentu akan lebih sulit dan memerlukan biaya yang lebih besar untuk mencapai lokasi, (Indonesian Nurse, 2008)


E. Motivasi
Motivasi adalah dorongan, sebab atau alasan seseorang melakukan sesuatu. Dengan demikian motivasi berarti suatu kondisi yang mendorong atau menjadikan sebab seseorang melakukan suatu perbuatan/ kegiatan, yang berlangsung secara sadar. (Nawawi, 2001)
Motivasi adalah suatu dorongan dari dalam diri seseorang yang menyebabkan orang tersebut melakukan kegiatan-kegiatan tertentu guna mencapai suatu tujuan. Motivasi tidak dapat diamati, yang dapat diamati adalah kegiatan atau mungkin alasan-alasan tindakan tersebut. (Notoatmojo, 2007)
Pembagian motivasi dapat dibagi berdasarkan pandangan dari para ahli, antara lain sebagai berikut.
1. Woodworth dan Marquis dalam notoatmojo (2007), membedakan motivasi yang berdasarkan kebutuhan manusia menjadi 3 macam:
a. Motivasi kebutuhan organis, seperti minum, makan, bernafas, seksual, bekerja, dan beristirahat.
b. Motivasi darurat, yang mencakup dorongan-dorongan menyelamatkan diri berusaha, dan dorongan untuk membalas.
c. Motivasi objektif, yang meliputi kebutuhan untuk melakukan eksplorasi, melakukan manipulasi, dan sebagainya.
2. Pembagian motivasi berdasarkan atas terbentuknya motivasi tersebut mencakup.
a. Motivasi-motivasi pembawaan, yang dibawa sejak lahir, tanpa dipelajari, misalnya dorongan untuk makan, minum, beristirahat, dorongan seksual, dan sebagainya.
b. Motivasi yang dipelajari, yaitu motivasi-motvasi yang timbul karena dipelajari, seperti dorongan untuk belajar sesuatu, dorongan untuk mengejar kedudukan, dan sebagainya.
3. Pembagian motivasi menurut penyebabnya
a. Motivasi ekstrinsik, yaitu motivasi yang berfungsi karena adanya rangsangan dari luar, misalnya mahasiswa yang belajar karena ia tahu bahwa besok ia akan ujian.
b. Motivasi intrinsik, yaitu motivasi yang berfungsi tanpa rangsangan dari luar tetapi sudah dengan sendirinya terdorong untuk berbuat sesuatu.
Tanpa ada motivasi yang kuat dari diri pasien untuk melakukan terapi/pengobatan akan berpengaruh terhadap keteraturan pasien dalam menjalani program pengobatan terutama pada pasien yang mengalami penyakit akut, (Indonesian Nurse, 2008).
Motivasi sangat diperlukan pasien penderita gagal ginjal untuk mendorong perilaku mereka agar rutin dalam menjalani terapi hemodialisis dengan tujuan memperpanjang usia. Tanpa adanya motivasi, mustahil terapi hemodialisis dapat berjalan sesuai jadwal. Beberapa faktor yang diduga mempengaruhi motivasi pasien selama menjalani terapi hemodialisis, meliputi usia, jarak, biaya, komplikasi, dukungan keluarga, lama hemodialisis, peran petugas medis dan pendidikan pasien. (Wahyuni, 2010).



F. Kerangka Konsep
Faktor pendapatan keluarga berhubungan dengan keteraturan pasien gagal ginjal kronik menjalani program menjalani terapi haemodilisa. Faktor jarak tempuh berhubungan dengan keteraturan pasien gagal ginjal kronik menjalani program program terapi menjalani haemodialisa. Faktor motivasi berhubungan dengan keteraturan pasien gagal ginjal kronik menjalani program haemodialisa
Bagan 2.1. kerangka konsep penelitian
Varibel Independen Variabel Dependen



G. Hipotesis
Ha : Ada hubungan antara pendapatan keluarga dengan keteraturan pasien gagal ginjal kronik menjalani program hemodialisa di ruang Hemodialisa RSUD. Dr. M. Yunus Bengkulu
Ha : Ada hubungan antara jarak tempuh dengan keteraturan pasien gagal ginjal kronik menjalani program hemodialisa di ruang Hemodialisa RSUD. Dr. M. Yunus Bengkulu.
Ha : Ada hubungan antara motivasi pasien dengan keteraturan pasien gagal ginjal kronik menjalani program hemodialisa di ruang Hemodialisa RSUD. Dr. M. Yunus Bengkulu.
BAB III
METODE PENELITIAN

A. Desain Penelitian
Metode penelitian yang digunakan dalam peeletian ini adalah penelitian secara deskriktif analitik dengan menggunakan desain cross-sectional yang merupakan rencana penelitian dengan menggunakan pengukuran atau pengamatan pada saat bersamaan (sekali sewaktu) antara variabel bebas dengan variabel tergantung, (Hidayat, 2002). Desain penelitian ini digunakan dikarenakan variabel yang diteliti yaitu pendapatan keluarga, jarak tempuh, dan motivasi sangat efektif bila diteliti dengan desain penelitian ini. Desain penelitian ini dapat digambarkan sebagai berikut :
Bagan 3.1 Desain penelitian















B. Definisi Operasional
Tabel 3.1 Definisi Operasional
NO Variabel Definisi opersional Alat ukur Cara ukur Hasil ukur Skala ukur
1
a Independen
Tingkat pendapatan keluaga
Pendapatan keluarga setiap bulan
Kuisoner
Mengajukan pertanyaan
0. Ekonomi
Rendah jika pendapatan perkapita keluarga pasien <
Rp.1.400.552
1. Ekonomi
Tinggi jika pendapatan perkapita keluarga pasien >
Rp.1.400.552 (BPS, prov Bengkulu, 2009).
Ordinal

b
Jarak tempuh Jarak antara tempat tinggal dengan tempat haemodialisa Kuisoner Mengajukan
Pertanyaan 0. Dekat jika Jarak < 5 km
1. Jauh jika Jarak > 5 km Ordinal
c Motivasi Motivasi pasien melakukan
haemodialisa Kuisoner Mengajukan
Pertanyaan 0. Motivasi
rendah jika skor <
 + 1 SD
1. Motivasi
tinggi jika jika skor >
 + 1 SD Ordinal
2
Dependen
Keteraturan Melakuakan haemodialisa Keteraturan pasien melakukan haemodialisa sesuai jadwal yang ditentukan Dokter. dengan kriteria pasien sudah mejalani haemodialisa 3 bulan Rekam medic pasien Melihat rekam medic pasien 0. Tidak teatur bila tidak sesuai jadwal yang telah ditentukan baik dari frekuensi maupun dari ketepatan hari yang telah dijadwalkan. dilihat keteraturan 3 bulan terahir menjalani hd
1. Teratur
bila sesuai jadwal yang telah ditentukan baik dari frekuensi maupun dari ketepatan hari yang telah dijadwalkan. dilihat keteraturan 3 bulan terahir menjalani hd
Ordinal

C. Populasi dan Sampel
1. Populasi
Populasi adalah sebagian dari keseluruhan subjek penelitian yang akan diteliti, (Notoatmojo, 2002). Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh pasien gagal ginjal kronik yang menjalani terapi hemodialisa di ruang hemodialisa RSUD. Dr, M. Yunus Bengkulu tahun 2009 yang berjumlah 44 orang.
2. Sampel
Sampel adalah sebagian dari keseluruhan objek yang diteliti dan dianggap mewakili seluruh populasi, (Notoatmojo, 2002). Sampel dalam penelitian ini mengunakan total sampling dimana seluruh populasi dijadikan sampel, sehingga sampel dalam penelitian ini berjumlah 44 responden dengan kriteria sudah menjalani haemodialisa minimal 3 bulan.

D. Tempat Penelitian
Tempat penelitian ini dilakukan di ruang haemodialisa RSUD. Dr. M. Yunus Bengkulu.

E. Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan pada bulan november sampai bulan juli sedangakan pengumpulan data dilakukan pada bulan juni sampai dengan bulan juli 2010.
F. Etika Penelitian
Dalam melakukan penelitian, peneliti memandang perlu adanya rekomendasi dari pihak institusi dengan mengajukan permohonan izin kepada instansi tempat penelitian dalam hal ini diajukan kepada Kepala Rumah Sakit atupun Kepala Ruangan yang bersangkutan. Setelah mendapat persetujuan barulah dilakukannya penelitian dengan menekankan masalah etika penelitian meliputi :
1. Informed consent
Lembar persetujuan yang akan diberikan responden yang akan diteliti dan memenuhi kriteria inklusi dan disertai judul penelitian dan manfaat penelitian dan manfaat penalitian. Lembar persetujuan diberikan kepada responden dengan memberi penjelasan tentang maksud dan tujuan penelitian yang akan dilakukan, serta menjelaskan manfaat yang akan diperoleh bila bersedia menjadi responden. Tujuan responden agar mengetahui dampak yang akan terjadi selama pengumpulan data. Jika subyek bersedia menjadi responden, maka harus menandatangani lembar persetujuan .
2. Anonymity (Tanpa Nama)
Untuk menjaga kerahasiaan identitas responden, peneliti tidak mencantumkan nama responden melainkan hanya kode nomer atau kode tertentu pada lembar pengumpulan data yang diisi oleh responden sehingga identitas responden tidak diketahui publik.


3. Confidential (Kerahasiaan)
Kerahasiaan informasi responden dijamin oleh peneliti dan hanya kelompok data tertentu yang dilaporkan hasil penelitian.

G. Pengumpulan, Pengolahan, dan Analisis Data
1. Cara pengumpulan data
Dalam penelitian ini jenis data yang digunakan adalah data primer yang diperoleh dengan cara menyebarkan kuisioner pada pasien gagal ginjal kronik yang melakukan haemodialisa untuk memperoleh data tentang faktor-faktor yang berhubungan dengan keteraturan pasien gagal ginjal kronik menjalani program haemodialisa di ruang haemodialisa RSUD, Dr. M. Yunus. Bengkulu, dan data sekunder untuk mendapatkan data tentang keteraturan pasien gagal ginjal kronik menjalani program haemodialisa di ruang haemodialisa RSUD. Dr. M. Yunus. Bengkulu. Dalam penelitian ini instrument yang digunakan yaitu lembar kuisioner yang digunakan untuk memperoleh data.
2. Pengolahan data.
Data yang dikumpulkan selanjutnya di olah dengan beberapa tahap yaitu:
a. Pengeditan Data (Editing).
Langakah ini dilakukan peneliti untuk memeriksa kembali kelengkapan data yang diperlukan untuk mencapai tujuan penenelitian dilakukan pengelompokan dan penyusunan data.

b. Pengkodean Data (Coding)
Coding adalah pengalokasian jawaban – jawaban yang ada menurut macamnya kebentuk kode-kode agar lebih mudah dan sederhana.
c. Memberikan Skore (Scoring )
Setelah dilakukan koding data, maka dilakukan pemberian skore pada masing-masing sub variabel dan dijumlahkan.
d. Memproses Data (processing)
Setelah data dikumpukan kemudian diproses dengan computer untuk dianalisis.
e. Pembersihan Data (Cleaning)
Pembersihan data dilakukan untuk mengoreksi jika ada kesalahan pengolahan data sehingga dapat diperbaiki.
3. Analisa Data.
Dalam penelitian ini digunakan analisa data univariat dan analisa bivariat.
a. Analisa Univariat.
Analisa univariat adalah seluruh variabel yang akan digunakan dalam analisa ditampilkan dalam distribusi frekuensi, Analisa univariat untuk melihat distribusi frekuensi dari masing-masing variabel dependen dan independen dengan menggunakan rumus sebagai berikut:







Keterangan: P : Jumlah persentase yang dicari
F : Jumlah frekuensi untuk setiap kategori
N : Jumlah populasi
(Arikunto, 1998)

b. Analisa Bivariat.
Analisa bivariat adalah analisa yang digunakan untuk melihat hubungan antara variabel dependen dengan variabel independen secara bersamaan dengan menggunakan analisa statistic chi - square (X2), dengan derajat kemaknaan (α) 0,05, dan tingkat signifikan 95%. Diolah dengan menggunakan system komputerisasi.
Dengan hasil hipotesis sebagai berikut :
a. Ha : diterima apabila p < 0,05.
b. Ha : ditolak apabila p > 0,05.

DAFTAR PUSTAKA

Arief. M. 2001. Kapita Selekta. Edisi 3 Jilid 1. Jakarta: EGC
Arikunto.1998. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta. Rineka Cipta.
Ali M. (1993) Kamus Lengkap Bahasa Indonesia. Pustaka Utama: Jakarta.
Budianto. A. 2009. Gangguan Perkemihan. Diakses dari http://www.agus.com . Pada tanggal 2 Januari 2010.
Budiadi dan Murti B, 2006. Pengaruh pendapatan keluarga terhadap pilihan kelas rawat inap di rumahSakit umum pandan arang boyolali. Diakses dari http://www.Budiadi.com. Pada tanggal 2 Januari 2010.
Brunner dan Suddart. 2001, Perawatan Medical Bedah. Volume II. Jakarta: ECG
Depkes RI. 2002. Menuju Sehat 2010, Jakarta.
Doengoes, E. M, 2000. Rencana Asuhan Keperawatan, Edisi I. FKUI.. Media Aesculapius.
Fitriani, (2010) Pengalaman Pasien Gagal Ginjal Kronik Yang Menjalani Perawatan Hemodialisa di Rumah Sakit Telogorejo Semarang. Diakses dari http://keperawatan.undip.ac.id pada tanggal 29 Mei 2010
Guyton and Hall.1997. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 9. Jakarta: EGC
Hidayat. A.A. 2002. Riset keperawatan dan teknis penulisan ilmiah. Jakarta. Salemba Medika.
Indonesia Nurse. 2008. Faktor-Faktor yang mempengaruhi Haemodialisa. Diakses dari http://IndonesiaNurse . Pada Tanggal 5 September.
Lubis, A. 2006. Dukungan Sosial Pada Pasien Ggk Yang Melakukan Hemodialisa, Usu Medan.
Long B. C. 1996. Perawatan Medikal Bedah 3, Bandung: IAKP Pajajaran.
Mambo .K. 2006. Gagal Ginjal Kronik. Diakses dari http://www.kadnet info. pada tanggal 5 desember 2009.
RSUD Dr. M. Yunus Bengkulu. 2009. Laporan Tahunan RSUD. Dr. M. Yunus Bengkulu. Bengkulu
Notoatmodjo. 2002. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta.
. 2003. Pendidikan dan prilaku kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta.
Nursalam dan Fransisca. 2008. Asuhan Keperawatan Pada Pasien Dengan Gangguan Sistem Perkemihan. Jakarta: Salemba Medika.
Nurbaiti. 2004. Ilmu Perilaku dan Tingkat Kepatuhan. Diakses dari http://alnurses.com
pada tanggal 21 Mei 2010.
Pearce E. 2000. Anatomi dan Fisiologi untuk para medis. Jakarta: Gramedia.
Suharyanto Toto dan Madjid Abdul. 2009. Asuhan Keperawatan Pada klien Dengan Gangguan Sistem Perkemihan. Jakarta: Trans Info Media.
Syaipudin H. 1997. Anatomi fisiologi, Edisi II, Jakarta: ECG.
Sunarni. 2009. Hubungan antara dukungan keluarga dengan Kepatuhan menjalani hemodialisa pada Penderita gagal ginjal kronik. Diakses dari http://sunarni.com pada tangal 21 Mei 2010
Supriani.1999. Dalam Oktasari. 2007. Hubungan pengetahuan, pendidikan dan jarak tempuh pasien gagal ginjal kronik dengan keteraturan melakukan hemodialisa Di RSUD. Dr, M. Yunus Bengkulu. Tidak diterbitkan
Wahyuni S. 2010. Analisis motivasi terapi hemodialisis pada Penderita gagal ginjal. Universitas Diponegoro, Semarang.
Wijaya R. 2009. Data Gagal ginjal Kronik di Indonesia. Diakses dari http://www.wijaya . Pada Tanggal 19 Desember 2009.
Wikipedia. 2008. Jarak. Diakses dari http://id.wikipedia.org/wiki/Jarak pada tangal 28 Mei 2010.

2 comments:

  1. hai aku nova maulidiah seorang mahasiswi yg kuliah di jurusan akper(akademi perawat) saat ini saya sedang menyusun skripsi dan kebetulan saya mengambil judul tentang hubungan tingkat ekonomi dengan kepatuhan pasien hemodialisa.tetapi saya tidak menemukan hasil penelitian org lain tentang tingkat ekonomi saya harap anda dapat membantu saya.sebelumnya saya ucapkan terima kasih.saya harap anda mau membantu saya .saya ingin lihat hasil penelitian nya.anda bisa mengirimkan ke alamat email saya di novamaulidiah@ymail.com

    ReplyDelete
    Replies
    1. udah aku posting abstraknya kalau ngak donload aja di sites saya udah saya upload file pdf nya lengkap donload di https://sites.google.com/site/rnabayurahmanto/suka-suka

      Delete