Wednesday, 16 June 2010

plebitis

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Rumah sakit merupakan suatu tempat dimana orang yang sakit dirawat dan ditempatkan dalam ruangan yang berdekatan atau antara satu tempat tidur dengan tempat tidur lainnya. Di tempat ini pasien mendapatkan terapi dan perawatan untuk dapat sembuh, dimana enam puluh persen pasien yang di rawat di Rumah Sakit menggunakan infus. Penggunaan infus terjadi disemua lingkungan keperawatan Kesehatan seperti perawatan akut, perawatan emergensi, perawatan ambulatory dan perawatan kesehatan dirumah, (Schffer, At.All, 1996).
Infus adalah salah satu cara atau bagian dari pengobatan untuk memasukkan obat atau vitamin kedalam tubuh pasien. Infeksi dapat menjadi komplikasi utama dari terpi intra vena ( IV ) terletak pada system infus atau tempat menusukkan vena (darmawan, 2008). Plebitis merupakan inflamasi vena yang disebabkan baik dari iritasi kimia maupun mekanik yang sering disebabkan oleh komplikasi dari terapi intravena. Plebitis dikarakteristikan dengan adanya dua atau lebih tanda nyeri, kemerahan, bengkak, indurasi, dan teraba mengeras di bagian vena yang terpasang kateter intravena, (La rocca, 1998). Plebitis dapat menyebabkan thrombus yang selanjutnya menjadi tromboplebitis, perjalanan penyakit ini biasanya jinak, tapi walaupun demikian jika thrombus terlepas kemudian diangkut dalam aliran darah dan masuk kejantung maka dapat menimbulkan gumpalan darah seperti katup bola yang bisa menyumbat atrioventrikular secara mendadak dan menimbulkan kematian, (Sylvia, 1995).
Jumlah kejadian plebitis menurut Distribusi Penyakit Sistem Sirkulasi Darah Pasien Rawat Inap, Indonesia Tahun 2006 berjumlah 744 orang (17,11%), (Depkes, RI, 2006)
Kejadian plebitis di ruang rawat penyakit dalam di RSCM Jakarta. Sebanyak 109 pasien yang mendapat cairan intravena. Ditemukan 11 kasus flebitis, dengan rata-rata kejadian 2 hari setelah pemasangan, area pemasangan di vena metacarpal, dan jenis cairan yang digunakan adalah kombinasi antara Ringer Laktat dan Dekstrosa 5%, (Pujasari, 2002).
Angka kejadian plebitis di RSU Mokopido Tolitoli pada tahun 2006 mencapai 42,4%, (Fitria, 2007). Penelitian lain yang dilakukan di RS DR. Sarjito Yogyakarta ditemukan 27,19% kasus plebitis pasca pemasangan infuse, (Baticola, 2002). Penelitian Widianto (2002) menemukan kasus plebitis sebanyak 18,8% di RSUD Purwokerto. Dan di instalasi rawat inap RSUD Dr. Soeradji Tirtonegoro klaten tahun 2002 diemukan kejadian plebitis sebanyak 26,5% kasus, (Saryati, 2002).
Secara sederhana plebitis berarti peradangan vena. Flebitis berat hampir selalu diikuti bekuan darah, atau trombus pada vena yang sakit. Banyak faktor telah dianggap terlibat dalam patogenesis flebitis, antara lain: faktor-faktor kimia seperti obat atau cairan yang iritan, faktor-faktor mekanis seperti bahan, ukuran kateter, lokasi dan lama kanulasi serta agen infeksius. Faktor pasien yang dapat mempengaruhi angka flebitis mencakup, usia, jenis kelamin dan kondisi dasar (yakni. diabetes melitus, infeksi, luka bakar). Suatu penyebab yang sering luput perhatian adalah adanya mikropartikel dalam larutan infus dan ini bisa dieliminasi dengan penggunaan filter. (Darmawan,2008).
Teknik sterilisasi di Rumah sakit sangat berpengaruh dengan tingkat kejadian phlebitis misalnya kurang sterilnya pada saat melakukan tindakan keperawatan pada pasien yang sedang dirawat, misalnya pada saat pemasangan infus. Apabila ada saat
melakukan pemasangan infuse alat-alat yang akan digunakan tidak menggunakan teknik sterilisasi akan mengakibatkan phlebitis seperti pembengkakan, kemerahan, nyeri disepanjang vena. Hal ini sangat merugikan bagi pasien karena infus yang seharusnya dilepas setelah 72 jam kini harus dilepas sebelum waktunya karena disebabkan oleh alat-alat bantu yang digunakan untuk memasang infus tidak menggunakan teknik sterilisasi, (Klikharry, 2006). Hasil penelitian Pasaribu, (2006), di Rumah Sakit Haji Medan menyimpulkan bahwa yang paling dominan menimbulkan kejadian phlebitis adalah sikap perawat yang kurang baik pada saat melaksanakan pemasangan infus (OR=2.771).
Pemberian obat melalui wadah cairan intravena merupakan cara memberikan obat dengan menambahkan atau memasukan obat ke dalam wadah cairan intravena yang bertujuan untuk meminimalkan efek samping dan mempertahankan kadar terapeutik dalam darah, (Mulh, 2006). Dalam penyuntikan obat atau pemberian infus IV, dan pengambilan sampel darah) merupakan jalan masuk kuman yang potensial kedalam tubuh, pH dan osmololaritas cairan infuse yang ekstrim selalu diikuti resiko phlebitis tinggi, (darmawan, 2008). Infeksi phlebitis dapat terjadi melalui cairan intravena dan jarum suntik yang digunakan atau di pakai berulang-ulang dan banyaknya suntikan yang tidak penting misalnya penyuntikan antibiotika, (Simonsen, 1999). Menurut Binvko, 2003. Semakin jauh jarak pemassangan terapi intravena maka risiko untuk terjadi plebitis akan semakin meningkat. Faktor lain yang akan meningkatkan risiko terjadinya phlebitis adalah cairan dengan osmolalitas tinggi dan pemakaian balutan konvensional.
Berdasarkan data yang di peroleh di sub bagian rekam medik RSUD.M.Yunus Bengkulu angka kejadian phlebitis pada tahun 2008 berjumlah 116 dan pada tahun 2009 orang terkena phlebitis berjumlah 122 orang terdiri dari ruang melati berjumlah 49 orang, seruni berjumlah 31 orang, kemuning berjumlah 9 orang, VIP berjumlah 8 orang, ICU berjumlah 5 orang, ICCU berjumlah 2 orang, IGD berjumlah 12 orang, mawar berjumlah 6 orang dan jumlah terbesar angka kejadian phlebitis terdapat di ruangan melati.
Berdasarkan survey awal dari tanggal 26–29 november yang penulis lakukan diruangan melati RSUD.M Yunus Bengkulu.ditemukan dari 25 pasien yang telah dipasang infus terdapat 13 pasien (52%) yang sudah menampakan adanya tanda-tanda plebitis seperti peradangan disekitar tusukan jarum infus, kemerahan dan nyeri di sepanjang vena.
Berdasarkan uraian diatas peneliti tertarik dan berkeinginan untuk melakukan peneliti dengan judul hubungan tehnik pemasangan infuse dan cara pemberian obat dengan kejadian phlebitis di RSUD M. Yunus Bengkulu.

B. Rumusan masalah
Berdasarkan uraian di atas masalah penelitian adalah tingginya angka kejadian plebitis di ruang melati RSUD.M.Yunus Bengkulu, sedangkan rumusan masalah adalah “Bagaimanakah hubungan tehnik pemasangan infus dan cara pemberian obat dengan kejadian phlebitis di RSUD.M.Yunus Bengkulu,”

C. Tujuan
1.Tujuan Umum
Untuk mengetahui adakah hubungan tehnik pemasangan infuse dan cara pemberian obat dengan kejadian phlebitis.
2.Tujuan Khusus
a. Untuk mengetahui gambaran tehnik pemasangan infuse pada pasien dengan pemasangan infus di RSUD.M.Yunus Bengkulu.
b. Untuk mengetahui gambaran cara pemberian obat pada pasien dengan pemasan gan infus di RSUD.M.Yunus Bengkulu.
c. Untuk mengetahui gambaran kejadian phlebitis di RSUD.M.Yunus Bengkulu.
d. Untuk mengetahui hubungan antara tehnik pemasangan infuse dengan kejadian plebitis pada pasien pemasangan infuse di RSUD.M.Yunus Bengkulu.
e. Untuk mengetahui hubungan antara cara pemberian obat dengan kejadian plebitis pada pasien pemasangan infus di RSUD.M.Yunus Bengkulu.

D. Manfaat Penelitian
1. Untuk RSUD Dr. M. Yunus Bengkulu
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai hubungan tehnik pemasangan infuse dan cara pemberian obat dengan kejadian phlebitis dan sehingga bahan penelitian dapat menurunkan angka terjadinya phlebitis di RSUD.M.Yunus Bengkulu.
2. Untuk Akademis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi ilmiah yang dapat bermanfaat dalam materi pembelajaran dan sebagai sumber pustaka yang berhubungan dengan plebitis
3. Untuk Peneliti Lain
Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai data dasar untuk penelitian serupa yang berhubungan dengan plebitis dan diharapkan akan dikembangkan lebih lanjut.
BAB II
TINJAUAN TEORITIS

A. Konsep Dasar Therapi IntraVena (infuse)
1. Pengertian
Therapi Intra vena adalah salah satu cara atau bagian dari pengobatan
Untuk memasukan obat atau vitamin kedalam tubuh pasien, (Darmawan,2008).
2. Tujuan Utama Terapi Intravena
a. Mengembalikan dan mempertahankan keseimbangan cairan dan elektrolit tubuh
b. Memberikan obat-obatan dan kemoterapi
c. Transfusi darah dan produk darah
d. Memberikan nutrisi parenteral dan suplemen nutrisi
3. Keuntungan dan Kerugian Terapi Intravena
a. Keuntungan:
1) Efek terapeutik segera dapat tercapai karena penghantaran obat ke tempat target berlangsung cepat.
2) Absorbsi total memungkinkan dosis obat lebih tepat dan terapi lebih dapat diandalkan
3) Kecepatan pemberian dapat dikontrol sehingga efek terapeutik dapat dipertahankan maupun dimodifikasi
4) Rasa sakit dan iritasi obat-obat tertentu jika diberikan intramuskular atau subkutan dapat dihindari
5) Sesuai untuk obat yang tidak dapat diabsorbsi dengan rute lain karena molekul yang besar, iritasi atau ketidakstabilan dalam traktus gastrointestinalis
b. Kerugian
1) Tidak bisa dilakukan “drug Recall” dan mengubah aksi obat tersebut sehingga resiko toksisitas dan sensitivitas tinggi
2) Kontrol pemberian yang tidak baik bisa menyebabkan “speeed Shock”
3) Komplikasi tambahan dapat timbul, yaitu:
a) Kontaminasi mikroba melalui titik akses ke sirkulasi dalam periode tertentu
b) Iritasi Vaskular, misalnya phlebitis kimia
c) Inkompabilitas obat dan interaksi dari berbagai obat tambahan
4. Prosedur Pemasangan Therapi Intravena
Prosedur pemasangan therapy intravena menurut Depkes RI (2005)
a. Kriteria persiapan
1) Cuci tangan
2) Standar infus
3) Caiaran yang akan diberikan
4) Infus set
5) Kapas
6) Alkohol 70%
7) Kasa steril
8) Gunting
9) Plester
10) Pengalas
11) Bengkok satu buah.
b. Kriteria pelaksanaan
1) cuci tangan
2) pasien diberi penjelasan
3) posisi pasien supine (terlentang)
4) siapkan area yang akan dipasang
5) memeriksa ulang cairan yang akan diberikan
6) keluarkan udara dari selang infus
7) menentukan vena yang akan ditusuk
8) pasang pengalas
9) desinfeksi area yang akan ditusuk dengan diameter 5-10 cm
10) menusuk jarum infuse / albocath pada vena yang telah ditentukan
11) melakukan fiksasi
12) menutup bagian yang akan ditusuk dengan kasa steril
13) menghitung jumlah cairan sesuai dengan kebutuhan
14) memperhatikanreaksi pasien
15) catat waktu pemasangan, jenis cairan dan jumlah tetesan
16) pasen dirapikan
17) alat-alat dibereskan
18) cuci tangan
5. Ukuran Jarum Therapi Intrvena (Infuse)
Menurut Potter (1999) ukuran jarum infuse yang biasa digunakan adalah :
1) Ukuran 16
Guna: Dewasa, Bedah Mayor, Trauma, Apabila sejumlah besar cairan perlu diinfuskan
Pertimbangan Perawat: Sakit pada insersi, Butuh vena besar
2) Ukuran 18
Guna: Anak dan dewasa, Untuk darah, komponen darah, dan infus kental lainnya
Pertimbangan Perawat: Sakit pada insersi, Butuh vena besar
3) Ukuran 20
Guna: Anak dan dewasa, Sesuai untuk kebanyakan cairan infus, darah, komponen darah, dan infus kental lainnya
Pertimbangan Perawat: umum dipakai
4) Ukuran 22
Guna: Bayi, anak, dan dewasa (terutama usia lanjut), Cocok untuk sebagian besar cairan infus
Pertimbangan Perawat: Lebih mudah untuk insersi ke vena yang kecil, tipis dan rapuh, Kecepatan tetesan harus dipertahankan lambat, Sulit insersi melalui kulit yang keras
5) Ukuran 24, 26
Guna: Nenonatus, bayi, anak dewasa (terutama usia lanjut), Sesuai untuk sebagian besar cairan infus, tetapi kecepatan tetesan lebih lambat
Pertimbangan Perawat: Untuk vena yang sangat kecil, Sulit insersi melalui kulit keras
6. Hal-hal yang perlu diperhatikan ( kewaspadaan)
a. Ganti lokasi tusukan setiap 48-72 jam dan gunakan set infus baru
b. Ganti kasa steril penutup luka setiap 24-48 jam dan evaluasi tanda infeksi
c. Observasi tanda / reaksi alergi terhadap infus atau komplikasi lain
d. Jika infus tidak diperlukan lagi, buka fiksasi pada lokasi penusukan
e. Kencangkan klem infus sehingga tidak mengalir
f. Tekan lokasi penusukan menggunakan kasa steril, lalu cabut jarum infus perlahan, periksa ujung kateter terhadap adanya embolus
g. Bersihkan lokasi penusukan dengan anti septik. Bekas-bekas plester dibersihkan memakai kapas alkohol atau bensin (jika perlu).
h. Gunakan alat alat-alat yang steril saat pemasangan, dan gunakan tehnik sterilisasi dalam pemasangan infus.
i. Hindarkan memasang infus pada daerah-daerah yang infeksi, vena yang telah rusak, vena pada daerah fleksi dan vena yang tidak stabil.
j. Mengatur ketepatan aliran dan regulasi infus adalah tanggung jawab perawat. Masalah yang dapat muncul apabila perawat tidak memperhatikan regulasi infus adalah hipervolemia dan hipovolemia. Untuk mengatur tetesan infus, perawat harus mengetahui volume cairan yang akan dimasukkan dan waktu yang dibutuhkan untuk menghabiskan cairan infus. Penghitungan cairan yang sering digunakan adalah penghitungan millimeter perjam (ml/h) dan penghitungan tetes permenit. Perhitungan Tetesan Infus dapat dibagi menjadi 2 yaitu makro dan mikro.
1. Tetesan Makro : 1cc = 15 tetes
Rumus :
Jumlah cairan yang dimasukkan (cc)
Tetesan/menit =
Lamanya infus (jam) x 4

2. Tetesan Mikro : 1cc = 60 tetes
Rumus :
Jumlah cairan yang dimasukkan (cc)
Tetesan/menit =
Lamanya infus (jam)

7. Komplikasi
a. Hematoma
Yakni darah mengempul dalam jaringan tubuh akibat pecahnya pembuluh darah arteri vena atau kapiler, terjadi akibat penekanan yang kurang tepat saat memasukan jarum atau tusukan berulang pada pembuluh darah.
b.Infiltrasi
Yakni masuknya cairan therapy intravena kedalam jaringan sekitar (bukan pembuluh darah), terjadi akibat ujung jarum therapi intravena melawan darah.
c. Tromboplebitis
Tromboflebitis menggambarkan adanya bekuan ditambah peradangan dalam vena yang disebabkan mikropartikel yang terbentuk bila partikel obat tidak larut sempurna selama pencampuran, cairan yang mempunyai pH dan omolaritas tinggi, mikrobakterial yang disebabka pemasangan dan alat alat yang tidak steril dan pemilihan jenis infus juga merupakan penyebab tromboplebitis. Karakteristik tromboflebitis adalah adanya nyeri yang terlokalisasi, kemerahan, rasa hangat, dan pembengkakan di sekitar area insersi atau sepanjang vena, imobilisasi ekstremitas karena adanya rasa tidak nyaman dan pembengkakan, kecepatan aliran yang tersendat, demam, malaise, dan leukositosis.
d. Emboli udara
Yakni masuknya udara kedalam sirkulasim darah,terjadi akibat masuknya udara yang ada dalam cairan therapi intravena kedalam pembuluh darah.(sehat grup,2007)

B. Cara Pemberian Obat
1. Pengertian
Pemberian obat yang aman dan akurat merupakan salah satu tugas terpenting pegrawat. Obat adalah alat utama terapi yang digunakan dokter untuk mengobati klien yang memiliki masalah kesehatan. ( Potter, 2005).
Pemberian obat melalui wadah cairan intravena merupakan cara pemberian obat dengan menambahkan atau memasukkan obat kedalam wadah cairan intra vena yang bertujuan untuk meminimalkan efek samping dan mempertahankan terapeutik dalam darah, (Hidayat, 2006)
2. Syarat pemberian obat
Menurut Potter dan Perry, (2006) ada 6 persyaratan atau hal yang perlu diperhatikan sebelum pemberian obat yaitu dengan prinsip 6 benar :
a. Tepat Obat
Sebelum mempersiapkan obat ketempatnya harus memperhatikan kebenaran obat sebanyak 3 kali yaitu ketika memindahkan obat dari tempat penyimpanan obat, saat obat diprogramkan, dan saat mengembalikan ketempat penyimpanan.
b. Tepat Dosis
Untuk menghindari kesalahan pemberian obat, maka penentuan dosis harusdiperhatikan dengan menggunakan alat standar seperti obat cair harus dilengkapi alat tetes, gelas ukur, spuit atau sendok khusus, alat untuk membelah tablet dan lain-lain sehingga perhitungan obat benar untuk diberikan kepada pasien.
c. Tepat pasien
Obat yang akan diberikan hendaknya benar pada pasien yang diprogramkan dengan cara mengidentifikasi kebenaran obat dengan mencocokkan nama, nomor register, alamat dan program pengobatan pada pasien.
d. Tepat cara pemberian obat
Dalam pemberian obat harus diperhatikan cara pemberian obat secara teliti dan hendaknya benar dalam cara pemberiannya, hal ini untuk menghindari kesalahan yang akan berakibat fatal. Cara pemberian obat harus benar apakah obat harus diberikan secara iv, sc, im, oral, sublingual, atau tropical.
e. Tepat waktu
Pemberian obat harus benar-benar sesuai dengan waktu yang di programkan , karena berhubungan dengan kerja obat yang dapat menimbulkan efek terapi dari obat.
f. Tepat pendokumentasian.
Setelah obat itu diberikan, harus didokumentasikan, dosis, rute, waktu dan oleh siapa obat itu diberikan. Bila pasien menolak meminum obatnya, atau obat itu tidak dapat diminum, harus dicatat alasannya dan dilaporkan.
3. Pengertian injeksi
Injeksi adalah sediaan streil berupa larutan, emulsi atau suspensi atau serbuk yang harus dilarutkan atau disuspensikan terlebih dahulu sebelum digunakan, yang disuntikkan dengan cara merobek jaringan ke dalam kulit atau melalui kulit atau selaput lender injeksi. Injeksi dibuat dengan melarutkan, mengemulsikan atau mensuspensikan sejumlah obat ke dalam sejumlah pelarut dan disisipkan dalam wadah takaran tunggal atau ganda. (Informasi obat, 2009)
4. Persiapan pemberian obat melalui intravena (IV)
a. Persiapan alat
1) Spuit dan jarum steril dalam tempatnya
2) Obat-obatan yang diperlukan
3) Nirbekken / bengkok
4) Kapas alcohol dalam tempatnya
5) Perlak dan alasnya
b. Persiapan pasien
pasien diberi penjelasan tentang tindakan yang akan dilakukan
5. Prosedur kerja pemberian obat melaui iv
1) Cuci tangan
2) Jelaskan prosedur yang akan dilakukan
3) Periksa identitas pasien dan ambil obat kemudian masukkan kedalam sepuit
4) Cari tempat penyuntikan obat pada bagian karet pada selang infuse.
5) Lakukan dis infeksi dengan kapas alcohol dan stop aliran infus
6) Lakukan penyuntikan dengan memasukkan jarum spuit hingga menembus bagian tengah dan masukan obat perlahan – lahan keselang intra vena
7) Setelah selesai tarik spuit
8) Periksa kecepatan infuse dan observasi kecepatan obat
9) Cuci tanggan
10) Catat obat yang telah dibetrikan dan dosisnya, (Depkes RI, 2005)
6. Obat – obatan yang bisa di berikan melalui IV.
Jenis obat – obatan yang bisa di berikan melalui antara lain seperti: Golongan anti biotic ( Ampicicilin, amoxcicilin, clorampenicol, dll) ,anti diuretic (furosemid, lasix dll) anti histamin atau setingkatnya,
(Adrenalin, dexamethasone ,dypenhydramin). Karena kadar puncak obat dalam darah perlu segera dicapai, sehingga diberikan melalui injeksi bolus (suntikan langsung ke pembuluh balik/vena). Peningkatan cepat konsentrasi obat dalam darah tercapai. Misalnya pada orang yang mengalami hipoglikemia berat dan mengancam nyawa, pada penderita diabetes mellitus. Alasan ini juga sering digunakan untuk pemberian antibiotika melalui infus/suntikan, namun perlu diingat bahwa banyak antibiotika memiliki bioavalaibilitas oral yang baik, dan mampu mencapai kadar adekuat dalam darah untuk membunuh bakteri.
Dalam pemberian antibiotik melalui IV perlu diperhatikan dalam pencampuran serbuk antibiotik tersebut, hal ini untuk menghindari terjadinya komplikasi seperti tromboplebitis karena kepekatan dan tidak tercampurnya obat secara baik. Biasanya untuk mencampur serbuk antibiotik / obat-oabat yang lain yang diberikan secara IV adala cairan aquades dengan perbandingan 4cc larutan aquades berbanding 1 vial antibiotik atau 6cc larutan aquades berbanding 1 vial serbuk antibiotic. (Informasi Obat,2009)
C. Konsep Plebitis
1. Pengertian
Phlebitis merupakan inflamasi vena yang disebabkan baik oleh iritasi kimia maupun mekanik yang sering disebabkan oleh komplikasi dari terapi intravena, Plebitis dikarateristikkan dengan adanya dua atau lebih tanda nyeri, kemerahan, kemerahan, bengkak, indurasi dan terba mengeras di bagian vena yang terpasang kateter intra vena (La Rocca, 1998 ). Plebitis dapat menyebabkan trombus yang selanjutnya menjadi thromboplebitis, perjalanan penyakit ini biasanya jinak, tapi walaupun demikian jika thrombus terlepas dan kemudian diangkut kealiran darah dan masuk jantung maka dapat menimbulkan seperti katup bola yang menyumbat atrioventikular secara mendadak dan menimbulkan kematian (Slyvia, 1995). Hal ini menjadiakan phlebitis sebagai salah satu pemasalahan yang penting untuk dibahas di samping plebitis juga sering ditemukan dalam proses keperawatan ( Jarumi Yati, 2009 ).
2. Penyebab Plebitis
a. Plebitis Kimia
1) pH dan osmolaritas cairan infus yang ekstrem selalu diikuti risiko flebitis tinggi. pH larutan dekstrosa berkisar antara 3 – 5, di mana keasaman diperlukan untuk mencegah karamelisasi dekstrosa selama proses sterilisasi autoklaf, jadi larutan yang mengandung glukosa, asam amino dan lipid yang digunakan dalam nutrisi parenteral bersifat lebih flebitogenik dibandingkan normal saline. Obat suntik yang bisa menyebabkan peradangan vena yang hebat, antara lain kalium klorida, vancomycin, amphotrecin B, cephalosporins, diazepam, midazolam dan banyak obat khemoterapi. Larutan infus dengan osmolaritas > 900 mOsm/L harus diberikan melalui vena sentral.
2) Mikropartikel yang terbentuk bila partikel obat tidak larut sempurna selama pencampuran juga merupakan faktor kontribusi terhadap flebitis. Jadi , kalau diberikan obat intravena masalah bisa diatasi dengan penggunaan filter 1 sampai 5 µm
3) Penempatan kanula pada vena proksimal (kubiti atau lengan bawah) sangat dianjurkan untuk larutan infus dengan osmolaritas > 500 mOsm/L Misalnya Dextrose 5%, NaCl 45% hipertonik, Dextrose 5%+Ringer-Lactate, Dextrose 5%+NaCl 0,9%, produk darah (darah), dan albumin. Hindarkan vena pada punggung tangan jika mungkin, terutama pada pasien usia lanjut, karena akan mengganggu kemandirian lansia.
4) Kateter yang terbuat dari silikon dan poliuretan kurang bersifat iritasi dibanding politetrafluoroetilen (teflon) karena permukaan lebih halus, lebih thermoplastik dan lentur. Risiko tertinggi untuk flebitis dimiliki kateter yang terbuat dari polivinil klorida atau polietilen.
b. Plebitis Mekanis
Flebitis mekanis dikaitkan dengan penempatan kanula. Kanula yang dimasukkan ada daerah lekukan sering menghasilkan flebitis mekanis. Ukuran kanula harus dipilih sesuai dengan ukuran vena dan difiksasi dengan baik.
c. Plebitis Bakterial
Faktor-faktor yang berkontribusi terhadap flebitis bakteri meliputi:
1) Teknik pencucian tangan yang buruk
2) Kegagalan memeriksa peralatan yang rusak. Pembungkus yang bocor atau robek mengundang bakteri.
3) Teknik aseptik tidak baik
4) Teknik pemasangan kanula yang buruk
5) Kanula dipasang terlalu lama
6) Tempat suntik jarang diinspeksi visual
3. Tanda dan Gejala
Tanda dan gejala phlebitis adalah
a. Nyeri yang terlokalisasi.
b. Pembengkakan.
c. kulit kemerahan timbul dengan cepat di atas vena
d. pada saat diraba terasa hangat
e. panas tubuh cukup tinggi (medicaster,2009)
4. Pencegahan dan mengatasi phlebitis ( Darmawan,2009 )
a. Mencegah flebitis bacterial.
Pedoman ini menekankan kebersihan tangan, teknik aseptik, perawatan daerah infus serta antisepsis kulit. Walaupun lebih disukai sediaan chlorhexidine-2%, tinctura yodium , iodofor atau alkohol 70% juga bisa digunakan.
b. Selalu waspada dan jangan meremehkan teknik aseptik.
Stopcock sekalipun (yang digunakan untuk penyuntikan obat atau pemberian infus IV, dan pengambilan sampel darah) merupakan jalan masuk kuman yang potensial ke dalam tubuh. Pencemaran stopcock lazim dijumpai dan terjadi kira-kira 45 – 50% dalam serangkaian besar kajian.
c. Rotasi kanula
May dkk(2005) melaporkan di mana mengganti tempat (rotasi) kanula ke lengan kontralateral setiap hari pada 15 pasien menyebabkan bebas flebitis. Namun, dalam uji kontrol acak yang dipublikasi baru-baru ini oleh Webster dkk disimpulkan bahwa kateter bisa dibiarkan aman di tempatnya lebih dari 72 jam JIKA tidak ada kontraindikasi. The Centers for Disease Control and Prevention menganjurkan penggantian kateter setiap 72-96 jam untuk membatasi potensi infeksi, namun rekomendasi ini tidak didasarkan atas bukti yang cukup.
d. Aseptic dressing
Dianjurkan aseptic dressing untuk mencegah flebitis. Kasa setril diganti setiap 24 jam.


e. Laju pemberian
Para ahli umumnya sepakat bahwa makin lambat infus larutan hipertonik diberikan makin rendah risiko flebitis. Namun, ada paradigma berbeda untuk pemberian infus obat injeksi dengan osmolaritas tinggi. Osmolaritas boleh mencapai 1000 mOsm/L jika durasi hanya beberapa jam.Durasi sebaiknya kurang dari tiga jam untuk mengurangi waktu kontak campuran yang iritatif dengan dinding vena. Ini membutuhkan kecepatan pemberian tinggi (150 – 330 mL/jam). Vena perifer yang paling besar dan kateter yang sekecil dan sependek mungkin dianjurkan untuk mencapai laju infus yang diinginkan, dengan filter 0.45mm. Kanula harus diangkat bila terlihat tanda dini nyeri atau kemerahan. Infus relatif cepat ini lebih relevan dalam pemberian infus jaga sebagai jalan masuk obat, bukan terapi cairan maintenance atau nutrisi parenteral.
f. Titrable acidity
Titratable acidity dari suatu larutan infus tidak pernah dipertimbangkan dalam kejadian flebitis. Titratable acidity mengukur jumlah alkali yang dibutuhkan untuk menetralkan pH larutan infus. Potensi flebitis dari larutan infus tidak bisa ditaksir hanya berdasarkan pH atau titrable acidity sendiri. Bahkan pada pH 4.0, larutan glukosa 10% jarang menyebabkan perubahan karena titrable acidity nya sangat rendah (0.16 mEq/L).Dengan demikian makin rendah titrable acidity larutan infus makin rendah risiko flebitisnya.
g. Heparin dan hidrokortison
Heparin sodium, bila ditambahkan ke cairan infus sampai kadar akhir 1 unit/mL, mengurangi masalah dan menambah waktu pasang kateter. Risiko flebitis yang berhubungan dengan pemberian cairan tertentu (misal, kalium klorida, lidocaine, dan antimikrobial) juga dapat dikurangi dengan pemberian aditif IV tertentu, seperti hidrokortison. Pada uji klinis dengan pasien penyakit koroner, hidrokortison secara bermakna mengurangi kekerapan flebitis pada vena yg diinfus lidokain, kalium klorida atau antimikrobial . Pada dua uji acak lain, heparin sendiri atau dikombinasi dengan hidrokortison telah mengurangi kekerapan flebitis, tetapi penggunaan heparin pada larutan yang mengandung lipid dapat disertai dengan pembentukan endapan kalsium.
h. In-line filter
In-line filter dapat mengurangi kekerapan flebitis tetapi tidak ada data yang mendukung efektivitasnya dalam mencegah infeksi yang terkait dengan alat intravaskular dan sistem infus
5. Masalah Kejadian Plebitis
a. Akibat phlebitis bagi penderita
Dampak yang terjadi dari infeksi tindakan pemasangan infus (plebitis) bagi pasien merupakan masalah yang serius namun tidak sampai menyebabkan kematian, tetapi banyak dampak yang nyata yaitu tingginya biaya perawatan diakibatkan lamanya perawatan di rumah sakit.

b. Akibat phlebitis bagi masyarakat
Bertambah panjangnya masa rawat penderita , penderita pulang masih menjadi pembawa kuman selama beberapa bulan,daan dapat menularkan kuman pada keluarga maupun masyarakat sekitarnya.

D. Hubungan antara pemasangan terapi intra vena dan pemberian obat dengan kejadian phlebitis.
Plebitis merupakan inflamasi vena yang disebabkan baik oleh iritasi kimia maupun mekanik yang sering disebabkan oleh komplikasi dari terapi intravena. Plebitis dikarakteristikkan dengan adanya dua atau lebih tanda nyeri, kemerahan, bengkak, indurasi dan teraba mengeras di bagian vena yang terpasang kateter intravena (La Rocca, 1998).
Dampak yang terjadi dari infeksi tindakan pemasangan infus (plebitis) merupakan masalah yang serius namun tidak sampai menyebabkan kematian, tetapi banyak dampak yang nyata yaitu tingginya biaya perawatan diakibatkan lamanya perawatan di rumah sakit. Terjadinya angka kejadian plebitis sangat dipengaruhi oleh ketepatan dalam pelaksanaan pemasangan infus. Penelitian Jarumiyati (2009), menunjukkan bahwa ada hubungan antara lama pemasangan kateter intravena dengan kejadian plebitis pada pasien dewasa rawat inap di bangsal menur dan bakung RSUD Wonosari, ini dibuktikan dengan nilai korelasinya 0,007. Begitu juga dengan penelitian Pasaribu, (2006), di Rumah Sakit Haji Medan menyimpulkan bahwa yang paling dominan menimbulkan kejadian phlebitis adalah sikap perawat yang kurang baik pada saat melaksanakan pemasangan infus (OR=2.771).
Selain itu cara pemberian obat melalui iv yang tidak baik atau tidak sesuai SOP juga sangat mempengaruhi angka kejadian plebitis. Hal ini dapat disebabkan oleh tehnik aseptik yang tidak baik saat menyuntikkan obat. Selain itu mikropartikel yang terbentuk bila partikel obat tidak larut sempurna selama pencampuran juga merupakan faktor kontribusi terhadap flebitis.

E. Kerangka Konsep
Berdasarkan uraian diatas yang telah kemukakan sebelumnya maka untuk mengembangkan kerangka pemikiran dalam penelitian ini dimana sebagai variabel dependen adalah kejadian phlebitis dan variabel independen adalah cara pemasangan therapy intravena dan cara penberian obat.di Gambarkan sebagai berikut

F. Hipotesis
Adapun hipotesis dalam penelitian ini adalah
Ha : Ada hubungan antara cara pemasangan therapy intravena dengan kejadian phlebitis di RSUD.M.yunus Bengkulu.
Ha : Ada hubungan antara cara penberian obat dengan kejadian phlebitis di RSUD.M.Yunus Bengkulu.
BAB III
METODE PENELITIAN

A. Desain Penelitian
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian secara deskriktif analitik dengan menggunakan desain kohort yang merupakan rencana penelitian epidemiologis analitis noneksperimental yang didasarkan pada pengamatan sekelompok penduduk tertentu dalam satu jangka waktu tertentu, (Budiarto, Eko. 2003).
Bagan 3.1 Desain penelitian









B. Definisi Operasinal
Tabel 3.1 definisi operasonal
NO Variabel Definisi opersional Alat ukur Cara ukur Hasil ukur Skala ukur
1
a Independen
Cara pemasangan terapi intra vena.
Cara kerja perawat dalam pemasangan infuse.
Check list
Observasi 0. Tidak baik jika nilai <75%
1. Baik jika nilai >75%

Ordinal
b
Cara pemberian obat. Cara pemberian obat dengan cara menambahkan atau memasukkan kedalam wadah cairan intra vena. Check list Observasi 0. Tidak baik jika score < 75%
1. Baik jika score > 75%
Ordinal
2
Dependen
Phlebitis
Infeksi vena baik yang disebabkan oleh iritasi kimia maupun mekanik yang disebabkan oleh komplikasi dari terapi intra vena
Check list
Observasi
0. Phlebitis, jika ditemukan salah satu tanda klinis, seperti bengkak, nyeri, merah, di daerah tempat pemasangan infus, setelah pamasangan infus 1-3 hari.
1. Tidak phlebitis jika tidak ditemukan tanda klinis seperti bengkak, nyeri, merah, di daerah tempat pemasangan infus, setelah pamasangan infus 1-3 hari
Nominal

C. Populasi dan Sampel
1. Populasi
Populasi adalah sebagian dari keseluruhan subjek penelitian yang akan diteliti, (Notoatmojo, 2002). Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh pasien yang di pasang infus di ruang rawat inap melati C2, RSUD. Dr, M. Yunus Bengkulu.
2. Sampel
Sampel adalah sebagian dari keseluruhan objek yang diteliti dan dianggap mewakili seluruh populasi.(Notoatmojo, 2002). Sampel dalam penelitian ini adalah sebagian pasien yang di pasang infus yang dihitung dengan rumus.
Z1-α . p . q
n =
(d)2

1,962.0,18.0,82
n=
0,0952

0,56
n=
0,009

n= 62 Responden


Keterangan:
n : Jumlah sampel
Z1-α : Nilai standar normal untuk ,
d : Penyimpangan / resisi = 0,095
q : 1-p
p : Proporsi = 18% di dapat dari angka kejadian plebitis di RSUD purwokerto

D. Tempat Penelitian
Tempat penelitian ini dilakukan di Ruang Melati C2, RSUD, Dr. M. Yunus, Bengkulu.


E. Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukukan pada bulan November sampai bulan juli sedangkan pengumpulan data dilakukan pada bulan juni sampai bulan juli 2010

F. Etika Penelitian
Dalam melakukan penelitian, peneliti memandang perlu adanya rekomendasi dari pihak institusi dengan mengajukan permohonan izin kepada instansi tempat penelitian dalam hal ini diajukan kepada Kepala Rumah Sakit atupun Kepala Ruangan yang bersangkutan. Setelah mendapat persetujuan barulah dilakukannya penelitian dengan menekankan masalah etika penelitian meliputi :
1. Informed consent
Lembar persetujuan yang akan diberikan responden yang akan diteliti dan memenuhi kriteria inklusi dan disertai judul penelitian dan manfaat penelitian dan manfaat penalitian.
2. Anonymity (Tanpa Nama)
Untuk menjaga kerahasiaan, peneliti tidak mencantumkan nama responden, tetapi lembar tersebut diberikan kode.
3. Confidential (Kerahasiaan)
Kerahasiaan informasi responden dijamin oleh peneliti dan hanya kelompok data tertentu yang dilaporkan hasil penelitian.

G. Pengumpulan, Pengolahan, dan Analisis Data
1. Pengumpulan data
Dalam penelitian ini jenis data yang digunakan adalah data primer yang diperoleh dengan cara mengobservasi untuk melihat cara pemasangan terapi intravena dan cara pemberian obat dan kejadian plebitis di Ruang Melati C2. RSUD.M.Yunus Bengkulu. Dan data sekunder untuk melihat data tentang kejadian plebitis di ruang Melati C2. RSUD.M.Yunus Bengkulu.



2. Pengolahan data.
Data yang dikumpulkan selanjutnya di olah dengan beberapa tahap yaitu:
a. Pengeditan Data (Editing).
Langkah ini dilakukan peneliti untuk memeriksa kembali kelengkapan data yang diperlukan untuk mencapai tujuan penenelitian dilakukan pengelompokan dan penyusunan data. Pemeriksaan terhadap kelengkapan dan kejelasan jawaban ceklist dan penyesuaian data yang diperoleh dengan kebutuhan penelitian hal ini dilakukan di lapangan sehingga apabila terdapat data yang meragukan ataupun salah maka akan dilakukan tinjauan ulang ke responden.
b. Pengkodean Data (Coding)
Data yang telah didapatkan akan diberi kode sesuai dengan sub variabel yang diteliti agar lebih mudah dalam pengecekan kembali jika terdapat kesalahan.
c. Memberikan Skore (Scoring )
Setelah dilakukan koding data, maka dilakukan pemberian skore pada masing-masing sub variabel dan setelah semua data telah diberi skore data tersebut dijumlahkan.
d. Memproses Data (processing)
Setelah data dikumpukan kemudian diproses dengan computer untuk dianalisis.
e. Pembersihan Data (Cleaning)
Pembersihan data dilakukan untuk mengoreksi jika ada kesalahan dalam memasukan data yaitu dengan melihat distribusi frekuensi dari variabel-variabel yang diteliti.
3. Analisa Data.
Dalam penelitian ini digunakan analisa data univariat dan analisa bivariat.
a. Analisa Univariat.
Analisa univariat adalah seluruh variabel yang akan digunakan dalam analisa ditampilkan dalam distribusi frekuensi, Analisa univariat untuk melihat distribusi frekuensi dari masing-masing variabel dependen dan independen dengan menggunakan rumus sebagai berikut:





Keterangan: P : Jumlah persentase yang dicari
F : Jumlah frekuensi untuk setiap kategori
N : Jumlah populasi
(Arikunto, 1998)
b. Analisa Bivariat.
Analisa bivariat adalah analisa yang digunakan untuk melihat hubungan antara variabel dependen dengan variabel independen secara bersamaan dengan menggunakan analisa statistic chi - square (X2), dengan derajat kemaknaan (α) 0,05, dan tingkat signifikan 95%. Untuk melihat resiko relatif kejadian plebitis di gunakan Relative Risk (RR) dengan Rumus :

a
a + b
RR=
c
c + d

Dengan hasil hipotesis sebagai berikut :
a. Ha : diterima apabila p < 0,05.
b. Ha : ditolak apabila p > 0,05.

DAFTAR PUSTAKA

Arikunto.1998. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta. Rineka Cipta.
Budiarto, Eko, 2003. Metodologi Penelitian Kedokteran, Jakarta, EGC
Bauhizem. M, 1995. Ilmu Keperawatan, Jakarta, EGC.
Depkes RI, 2002. Menuju Sehat 2010, Jakarta.
, 2005. Intrumen Evaluasi Penerapan Standar Asuhan Keperawatan di Rumah Sakit. Jakarta
Darmawan Iyan, 2008. Penyebab dan Cara Mengatasi Plebitis. Diakses dari http://www.Iyan@Otsuka.com.id pada tanggal 20 September 2009.
Hastono, 2004. Biostastistik, Jakarta, EGC.
Hidayat. A.A, 2006. Pengantar Kebutuhan Dasar Manusia Aplikasi Konsep Dan Proses Keperawatan. Jakarta. Salemba Medika.
Jarumiati, 2006. Hubungan Lama Pemasangan Kateter Intravena Dengan Kejadian Plebitis Pada Pasien Dewasa Diruang Rawat Inap Bangsal Menur Dan Bakung RSUD, Wonosari. Diakses dari http://www.stikessmart@ymail.com pada tanggal 15 Desember 2009.
Klikharry. 2006. Infeksi-Nosokomial. Diakses dari http://www.wordpress.com pada tanggal 15 desember 2009
Notoatmodjo, 2002. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta. Rineka Cipta.
Perry dan potter, 1999. Keterampilan dan prosedur dasar, Jakarta, EGC.
Potter, P.A. 2004 Buku Ajar Fundamental Keperawatan Konsep, Proses dan Praktek edisi 4, alih
bahasa Renata Komalasari, Jakarta, EGC
Pujasari Hening, 2002. Angka Kejadian Phlebitis Dan Tingkat Keparahannya Di Ruang Penyakit Dalam RSCM, Jakarta. Diakses dari http://pujasari. Pada tanggal 20 September 2009.

plebtis


A. Konsep Dasar Therapi IntraVena (infuse)
1. Pengertian
Therapi Intra vena adalah salah satu cara atau bagian dari pengobatan
Untuk memasukan obat atau vitamin kedalam tubuh pasien, (Darmawan,2008).
2. Tujuan Utama Terapi Intravena
a. Mengembalikan dan mempertahankan keseimbangan cairan dan elektrolit tubuh
b. Memberikan obat-obatan dan kemoterapi
c. Transfusi darah dan produk darah
d. Memberikan nutrisi parenteral dan suplemen nutrisi
3. Keuntungan dan Kerugian Terapi Intravena
a. Keuntungan:
1) Efek terapeutik segera dapat tercapai karena penghantaran obat ke tempat target berlangsung cepat.
2) Absorbsi total memungkinkan dosis obat lebih tepat dan terapi lebih dapat diandalkan
3) Kecepatan pemberian dapat dikontrol sehingga efek terapeutik dapat dipertahankan maupun dimodifikasi
4) Rasa sakit dan iritasi obat-obat tertentu jika diberikan intramuskular atau subkutan dapat dihindari
5) Sesuai untuk obat yang tidak dapat diabsorbsi dengan rute lain karena molekul yang besar, iritasi atau ketidakstabilan dalam traktus gastrointestinalis
b. Kerugian
1) Tidak bisa dilakukan “drug Recall” dan mengubah aksi obat tersebut sehingga resiko toksisitas dan sensitivitas tinggi
2) Kontrol pemberian yang tidak baik bisa menyebabkan “speeed Shock”
3) Komplikasi tambahan dapat timbul, yaitu:
a) Kontaminasi mikroba melalui titik akses ke sirkulasi dalam periode tertentu
b) Iritasi Vaskular, misalnya phlebitis kimia
c) Inkompabilitas obat dan interaksi dari berbagai obat tambahan
4. Prosedur Pemasangan Therapi Intravena
Prosedur pemasangan therapy intravena menurut Depkes RI (2005)
a. Kriteria persiapan
1) Cuci tangan
2) Standar infus
3) Caiaran yang akan diberikan
4) Infus set
5) Kapas
6) Alkohol 70%
7) Kasa steril
8) Gunting
9) Plester
10) Pengalas
11) Bengkok satu buah.
b. Kriteria pelaksanaan
1) cuci tangan
2) pasien diberi penjelasan
3) posisi pasien supine (terlentang)
4) siapkan area yang akan dipasang
5) memeriksa ulang cairan yang akan diberikan
6) keluarkan udara dari selang infus
7) menentukan vena yang akan ditusuk
8) pasang pengalas
9) desinfeksi area yang akan ditusuk dengan diameter 5-10 cm
10) menusuk jarum infuse / albocath pada vena yang telah ditentukan
11) melakukan fiksasi
12) menutup bagian yang akan ditusuk dengan kasa steril
13) menghitung jumlah cairan sesuai dengan kebutuhan
14) memperhatikanreaksi pasien
15) catat waktu pemasangan, jenis cairan dan jumlah tetesan
16) pasen dirapikan
17) alat-alat dibereskan
18) cuci tangan
5. Ukuran Jarum Therapi Intrvena (Infuse)
Menurut Potter (1999) ukuran jarum infuse yang biasa digunakan adalah :
1) Ukuran 16
Guna: Dewasa, Bedah Mayor, Trauma, Apabila sejumlah besar cairan perlu diinfuskan
Pertimbangan Perawat: Sakit pada insersi, Butuh vena besar
2) Ukuran 18
Guna: Anak dan dewasa, Untuk darah, komponen darah, dan infus kental lainnya
Pertimbangan Perawat: Sakit pada insersi, Butuh vena besar
3) Ukuran 20
Guna: Anak dan dewasa, Sesuai untuk kebanyakan cairan infus, darah, komponen darah, dan infus kental lainnya
Pertimbangan Perawat: umum dipakai
4) Ukuran 22
Guna: Bayi, anak, dan dewasa (terutama usia lanjut), Cocok untuk sebagian besar cairan infus
Pertimbangan Perawat: Lebih mudah untuk insersi ke vena yang kecil, tipis dan rapuh, Kecepatan tetesan harus dipertahankan lambat, Sulit insersi melalui kulit yang keras
5) Ukuran 24, 26
Guna: Nenonatus, bayi, anak dewasa (terutama usia lanjut), Sesuai untuk sebagian besar cairan infus, tetapi kecepatan tetesan lebih lambat
Pertimbangan Perawat: Untuk vena yang sangat kecil, Sulit insersi melalui kulit keras
6. Hal-hal yang perlu diperhatikan ( kewaspadaan)
a. Ganti lokasi tusukan setiap 48-72 jam dan gunakan set infus baru
b. Ganti kasa steril penutup luka setiap 24-48 jam dan evaluasi tanda infeksi
c. Observasi tanda / reaksi alergi terhadap infus atau komplikasi lain
d. Jika infus tidak diperlukan lagi, buka fiksasi pada lokasi penusukan
e. Kencangkan klem infus sehingga tidak mengalir
f. Tekan lokasi penusukan menggunakan kasa steril, lalu cabut jarum infus perlahan, periksa ujung kateter terhadap adanya embolus
g. Bersihkan lokasi penusukan dengan anti septik. Bekas-bekas plester dibersihkan memakai kapas alkohol atau bensin (jika perlu).
h. Gunakan alat alat-alat yang steril saat pemasangan, dan gunakan tehnik sterilisasi dalam pemasangan infus.
i. Hindarkan memasang infus pada daerah-daerah yang infeksi, vena yang telah rusak, vena pada daerah fleksi dan vena yang tidak stabil.
j. Mengatur ketepatan aliran dan regulasi infus adalah tanggung jawab perawat. Masalah yang dapat muncul apabila perawat tidak memperhatikan regulasi infus adalah hipervolemia dan hipovolemia. Untuk mengatur tetesan infus, perawat harus mengetahui volume cairan yang akan dimasukkan dan waktu yang dibutuhkan untuk menghabiskan cairan infus. Penghitungan cairan yang sering digunakan adalah penghitungan millimeter perjam (ml/h) dan penghitungan tetes permenit. Perhitungan Tetesan Infus dapat dibagi menjadi 2 yaitu makro dan mikro.
1. Tetesan Makro : 1cc = 15 tetes
Rumus :
Jumlah cairan yang dimasukkan (cc)
Tetesan/menit =
Lamanya infus (jam) x 4

2. Tetesan Mikro : 1cc = 60 tetes
Rumus :
Jumlah cairan yang dimasukkan (cc)
Tetesan/menit =
Lamanya infus (jam)

7. Komplikasi
a. Hematoma
Yakni darah mengempul dalam jaringan tubuh akibat pecahnya pembuluh darah arteri vena atau kapiler, terjadi akibat penekanan yang kurang tepat saat memasukan jarum atau tusukan berulang pada pembuluh darah.
b.Infiltrasi
Yakni masuknya cairan therapy intravena kedalam jaringan sekitar (bukan pembuluh darah), terjadi akibat ujung jarum therapi intravena melawan darah.
c. Tromboplebitis
Tromboflebitis menggambarkan adanya bekuan ditambah peradangan dalam vena yang disebabkan mikropartikel yang terbentuk bila partikel obat tidak larut sempurna selama pencampuran, cairan yang mempunyai pH dan omolaritas tinggi, mikrobakterial yang disebabka pemasangan dan alat alat yang tidak steril dan pemilihan jenis infus juga merupakan penyebab tromboplebitis. Karakteristik tromboflebitis adalah adanya nyeri yang terlokalisasi, kemerahan, rasa hangat, dan pembengkakan di sekitar area insersi atau sepanjang vena, imobilisasi ekstremitas karena adanya rasa tidak nyaman dan pembengkakan, kecepatan aliran yang tersendat, demam, malaise, dan leukositosis.
d. Emboli udara
Yakni masuknya udara kedalam sirkulasim darah,terjadi akibat masuknya udara yang ada dalam cairan therapi intravena kedalam pembuluh darah.(sehat grup,2007)

B. Cara Pemberian Obat
1. Pengertian
Pemberian obat yang aman dan akurat merupakan salah satu tugas terpenting pegrawat. Obat adalah alat utama terapi yang digunakan dokter untuk mengobati klien yang memiliki masalah kesehatan. ( Potter, 2005).
Pemberian obat melalui wadah cairan intravena merupakan cara pemberian obat dengan menambahkan atau memasukkan obat kedalam wadah cairan intra vena yang bertujuan untuk meminimalkan efek samping dan mempertahankan terapeutik dalam darah, (Hidayat, 2006)
2. Syarat pemberian obat
Menurut Potter dan Perry, (2006) ada 6 persyaratan atau hal yang perlu diperhatikan sebelum pemberian obat yaitu dengan prinsip 6 benar :
a. Tepat Obat
Sebelum mempersiapkan obat ketempatnya harus memperhatikan kebenaran obat sebanyak 3 kali yaitu ketika memindahkan obat dari tempat penyimpanan obat, saat obat diprogramkan, dan saat mengembalikan ketempat penyimpanan.
b. Tepat Dosis
Untuk menghindari kesalahan pemberian obat, maka penentuan dosis harusdiperhatikan dengan menggunakan alat standar seperti obat cair harus dilengkapi alat tetes, gelas ukur, spuit atau sendok khusus, alat untuk membelah tablet dan lain-lain sehingga perhitungan obat benar untuk diberikan kepada pasien.
c. Tepat pasien
Obat yang akan diberikan hendaknya benar pada pasien yang diprogramkan dengan cara mengidentifikasi kebenaran obat dengan mencocokkan nama, nomor register, alamat dan program pengobatan pada pasien.
d. Tepat cara pemberian obat
Dalam pemberian obat harus diperhatikan cara pemberian obat secara teliti dan hendaknya benar dalam cara pemberiannya, hal ini untuk menghindari kesalahan yang akan berakibat fatal. Cara pemberian obat harus benar apakah obat harus diberikan secara iv, sc, im, oral, sublingual, atau tropical.
e. Tepat waktu
Pemberian obat harus benar-benar sesuai dengan waktu yang di programkan , karena berhubungan dengan kerja obat yang dapat menimbulkan efek terapi dari obat.
f. Tepat pendokumentasian.
Setelah obat itu diberikan, harus didokumentasikan, dosis, rute, waktu dan oleh siapa obat itu diberikan. Bila pasien menolak meminum obatnya, atau obat itu tidak dapat diminum, harus dicatat alasannya dan dilaporkan.
3. Pengertian injeksi
Injeksi adalah sediaan streil berupa larutan, emulsi atau suspensi atau serbuk yang harus dilarutkan atau disuspensikan terlebih dahulu sebelum digunakan, yang disuntikkan dengan cara merobek jaringan ke dalam kulit atau melalui kulit atau selaput lender injeksi. Injeksi dibuat dengan melarutkan, mengemulsikan atau mensuspensikan sejumlah obat ke dalam sejumlah pelarut dan disisipkan dalam wadah takaran tunggal atau ganda. (Informasi obat, 2009)
4. Persiapan pemberian obat melalui intravena (IV)
a. Persiapan alat
1) Spuit dan jarum steril dalam tempatnya
2) Obat-obatan yang diperlukan
3) Nirbekken / bengkok
4) Kapas alcohol dalam tempatnya
5) Perlak dan alasnya
b. Persiapan pasien
pasien diberi penjelasan tentang tindakan yang akan dilakukan
5. Prosedur kerja pemberian obat melaui iv
1) Cuci tangan
2) Jelaskan prosedur yang akan dilakukan
3) Periksa identitas pasien dan ambil obat kemudian masukkan kedalam sepuit
4) Cari tempat penyuntikan obat pada bagian karet pada selang infuse.
5) Lakukan dis infeksi dengan kapas alcohol dan stop aliran infus
6) Lakukan penyuntikan dengan memasukkan jarum spuit hingga menembus bagian tengah dan masukan obat perlahan – lahan keselang intra vena
7) Setelah selesai tarik spuit
8) Periksa kecepatan infuse dan observasi kecepatan obat
9) Cuci tanggan
10) Catat obat yang telah dibetrikan dan dosisnya, (Depkes RI, 2005)
6. Obat – obatan yang bisa di berikan melalui IV.
Jenis obat – obatan yang bisa di berikan melalui antara lain seperti: Golongan anti biotic ( Ampicicilin, amoxcicilin, clorampenicol, dll) ,anti diuretic (furosemid, lasix dll) anti histamin atau setingkatnya,
(Adrenalin, dexamethasone ,dypenhydramin). Karena kadar puncak obat dalam darah perlu segera dicapai, sehingga diberikan melalui injeksi bolus (suntikan langsung ke pembuluh balik/vena). Peningkatan cepat konsentrasi obat dalam darah tercapai. Misalnya pada orang yang mengalami hipoglikemia berat dan mengancam nyawa, pada penderita diabetes mellitus. Alasan ini juga sering digunakan untuk pemberian antibiotika melalui infus/suntikan, namun perlu diingat bahwa banyak antibiotika memiliki bioavalaibilitas oral yang baik, dan mampu mencapai kadar adekuat dalam darah untuk membunuh bakteri.
Dalam pemberian antibiotik melalui IV perlu diperhatikan dalam pencampuran serbuk antibiotik tersebut, hal ini untuk menghindari terjadinya komplikasi seperti tromboplebitis karena kepekatan dan tidak tercampurnya obat secara baik. Biasanya untuk mencampur serbuk antibiotik / obat-oabat yang lain yang diberikan secara IV adala cairan aquades dengan perbandingan 4cc larutan aquades berbanding 1 vial antibiotik atau 6cc larutan aquades berbanding 1 vial serbuk antibiotic. (Informasi Obat,2009)
C. Konsep Plebitis
1. Pengertian
Phlebitis merupakan inflamasi vena yang disebabkan baik oleh iritasi kimia maupun mekanik yang sering disebabkan oleh komplikasi dari terapi intravena, Plebitis dikarateristikkan dengan adanya dua atau lebih tanda nyeri, kemerahan, kemerahan, bengkak, indurasi dan terba mengeras di bagian vena yang terpasang kateter intra vena (La Rocca, 1998 ). Plebitis dapat menyebabkan trombus yang selanjutnya menjadi thromboplebitis, perjalanan penyakit ini biasanya jinak, tapi walaupun demikian jika thrombus terlepas dan kemudian diangkut kealiran darah dan masuk jantung maka dapat menimbulkan seperti katup bola yang menyumbat atrioventikular secara mendadak dan menimbulkan kematian (Slyvia, 1995). Hal ini menjadiakan phlebitis sebagai salah satu pemasalahan yang penting untuk dibahas di samping plebitis juga sering ditemukan dalam proses keperawatan ( Jarumi Yati, 2009 ).
2. Penyebab Plebitis
a. Plebitis Kimia
1) pH dan osmolaritas cairan infus yang ekstrem selalu diikuti risiko flebitis tinggi. pH larutan dekstrosa berkisar antara 3 – 5, di mana keasaman diperlukan untuk mencegah karamelisasi dekstrosa selama proses sterilisasi autoklaf, jadi larutan yang mengandung glukosa, asam amino dan lipid yang digunakan dalam nutrisi parenteral bersifat lebih flebitogenik dibandingkan normal saline. Obat suntik yang bisa menyebabkan peradangan vena yang hebat, antara lain kalium klorida, vancomycin, amphotrecin B, cephalosporins, diazepam, midazolam dan banyak obat khemoterapi. Larutan infus dengan osmolaritas > 900 mOsm/L harus diberikan melalui vena sentral.
2) Mikropartikel yang terbentuk bila partikel obat tidak larut sempurna selama pencampuran juga merupakan faktor kontribusi terhadap flebitis. Jadi , kalau diberikan obat intravena masalah bisa diatasi dengan penggunaan filter 1 sampai 5 µm
3) Penempatan kanula pada vena proksimal (kubiti atau lengan bawah) sangat dianjurkan untuk larutan infus dengan osmolaritas > 500 mOsm/L Misalnya Dextrose 5%, NaCl 45% hipertonik, Dextrose 5%+Ringer-Lactate, Dextrose 5%+NaCl 0,9%, produk darah (darah), dan albumin. Hindarkan vena pada punggung tangan jika mungkin, terutama pada pasien usia lanjut, karena akan mengganggu kemandirian lansia.
4) Kateter yang terbuat dari silikon dan poliuretan kurang bersifat iritasi dibanding politetrafluoroetilen (teflon) karena permukaan lebih halus, lebih thermoplastik dan lentur. Risiko tertinggi untuk flebitis dimiliki kateter yang terbuat dari polivinil klorida atau polietilen.
b. Plebitis Mekanis
Flebitis mekanis dikaitkan dengan penempatan kanula. Kanula yang dimasukkan ada daerah lekukan sering menghasilkan flebitis mekanis. Ukuran kanula harus dipilih sesuai dengan ukuran vena dan difiksasi dengan baik.
c. Plebitis Bakterial
Faktor-faktor yang berkontribusi terhadap flebitis bakteri meliputi:
1) Teknik pencucian tangan yang buruk
2) Kegagalan memeriksa peralatan yang rusak. Pembungkus yang bocor atau robek mengundang bakteri.
3) Teknik aseptik tidak baik
4) Teknik pemasangan kanula yang buruk
5) Kanula dipasang terlalu lama
6) Tempat suntik jarang diinspeksi visual
3. Tanda dan Gejala
Tanda dan gejala phlebitis adalah
a. Nyeri yang terlokalisasi.
b. Pembengkakan.
c. kulit kemerahan timbul dengan cepat di atas vena
d. pada saat diraba terasa hangat
e. panas tubuh cukup tinggi (medicaster,2009)
4. Pencegahan dan mengatasi phlebitis ( Darmawan,2009 )
a. Mencegah flebitis bacterial.
Pedoman ini menekankan kebersihan tangan, teknik aseptik, perawatan daerah infus serta antisepsis kulit. Walaupun lebih disukai sediaan chlorhexidine-2%, tinctura yodium , iodofor atau alkohol 70% juga bisa digunakan.
b. Selalu waspada dan jangan meremehkan teknik aseptik.
Stopcock sekalipun (yang digunakan untuk penyuntikan obat atau pemberian infus IV, dan pengambilan sampel darah) merupakan jalan masuk kuman yang potensial ke dalam tubuh. Pencemaran stopcock lazim dijumpai dan terjadi kira-kira 45 – 50% dalam serangkaian besar kajian.
c. Rotasi kanula
May dkk(2005) melaporkan di mana mengganti tempat (rotasi) kanula ke lengan kontralateral setiap hari pada 15 pasien menyebabkan bebas flebitis. Namun, dalam uji kontrol acak yang dipublikasi baru-baru ini oleh Webster dkk disimpulkan bahwa kateter bisa dibiarkan aman di tempatnya lebih dari 72 jam JIKA tidak ada kontraindikasi. The Centers for Disease Control and Prevention menganjurkan penggantian kateter setiap 72-96 jam untuk membatasi potensi infeksi, namun rekomendasi ini tidak didasarkan atas bukti yang cukup.
d. Aseptic dressing
Dianjurkan aseptic dressing untuk mencegah flebitis. Kasa setril diganti setiap 24 jam.


e. Laju pemberian
Para ahli umumnya sepakat bahwa makin lambat infus larutan hipertonik diberikan makin rendah risiko flebitis. Namun, ada paradigma berbeda untuk pemberian infus obat injeksi dengan osmolaritas tinggi. Osmolaritas boleh mencapai 1000 mOsm/L jika durasi hanya beberapa jam.Durasi sebaiknya kurang dari tiga jam untuk mengurangi waktu kontak campuran yang iritatif dengan dinding vena. Ini membutuhkan kecepatan pemberian tinggi (150 – 330 mL/jam). Vena perifer yang paling besar dan kateter yang sekecil dan sependek mungkin dianjurkan untuk mencapai laju infus yang diinginkan, dengan filter 0.45mm. Kanula harus diangkat bila terlihat tanda dini nyeri atau kemerahan. Infus relatif cepat ini lebih relevan dalam pemberian infus jaga sebagai jalan masuk obat, bukan terapi cairan maintenance atau nutrisi parenteral.
f. Titrable acidity
Titratable acidity dari suatu larutan infus tidak pernah dipertimbangkan dalam kejadian flebitis. Titratable acidity mengukur jumlah alkali yang dibutuhkan untuk menetralkan pH larutan infus. Potensi flebitis dari larutan infus tidak bisa ditaksir hanya berdasarkan pH atau titrable acidity sendiri. Bahkan pada pH 4.0, larutan glukosa 10% jarang menyebabkan perubahan karena titrable acidity nya sangat rendah (0.16 mEq/L).Dengan demikian makin rendah titrable acidity larutan infus makin rendah risiko flebitisnya.
g. Heparin dan hidrokortison
Heparin sodium, bila ditambahkan ke cairan infus sampai kadar akhir 1 unit/mL, mengurangi masalah dan menambah waktu pasang kateter. Risiko flebitis yang berhubungan dengan pemberian cairan tertentu (misal, kalium klorida, lidocaine, dan antimikrobial) juga dapat dikurangi dengan pemberian aditif IV tertentu, seperti hidrokortison. Pada uji klinis dengan pasien penyakit koroner, hidrokortison secara bermakna mengurangi kekerapan flebitis pada vena yg diinfus lidokain, kalium klorida atau antimikrobial . Pada dua uji acak lain, heparin sendiri atau dikombinasi dengan hidrokortison telah mengurangi kekerapan flebitis, tetapi penggunaan heparin pada larutan yang mengandung lipid dapat disertai dengan pembentukan endapan kalsium.
h. In-line filter
In-line filter dapat mengurangi kekerapan flebitis tetapi tidak ada data yang mendukung efektivitasnya dalam mencegah infeksi yang terkait dengan alat intravaskular dan sistem infus
5. Masalah Kejadian Plebitis
a. Akibat phlebitis bagi penderita
Dampak yang terjadi dari infeksi tindakan pemasangan infus (plebitis) bagi pasien merupakan masalah yang serius namun tidak sampai menyebabkan kematian, tetapi banyak dampak yang nyata yaitu tingginya biaya perawatan diakibatkan lamanya perawatan di rumah sakit.

b. Akibat phlebitis bagi masyarakat
Bertambah panjangnya masa rawat penderita , penderita pulang masih menjadi pembawa kuman selama beberapa bulan,daan dapat menularkan kuman pada keluarga maupun masyarakat sekitarnya.

D. Hubungan antara pemasangan terapi intra vena dan pemberian obat dengan kejadian phlebitis.
Plebitis merupakan inflamasi vena yang disebabkan baik oleh iritasi kimia maupun mekanik yang sering disebabkan oleh komplikasi dari terapi intravena. Plebitis dikarakteristikkan dengan adanya dua atau lebih tanda nyeri, kemerahan, bengkak, indurasi dan teraba mengeras di bagian vena yang terpasang kateter intravena (La Rocca, 1998).
Dampak yang terjadi dari infeksi tindakan pemasangan infus (plebitis) merupakan masalah yang serius namun tidak sampai menyebabkan kematian, tetapi banyak dampak yang nyata yaitu tingginya biaya perawatan diakibatkan lamanya perawatan di rumah sakit. Terjadinya angka kejadian plebitis sangat dipengaruhi oleh ketepatan dalam pelaksanaan pemasangan infus. Penelitian Jarumiyati (2009), menunjukkan bahwa ada hubungan antara lama pemasangan kateter intravena dengan kejadian plebitis pada pasien dewasa rawat inap di bangsal menur dan bakung RSUD Wonosari, ini dibuktikan dengan nilai korelasinya 0,007. Begitu juga dengan penelitian Pasaribu, (2006), di Rumah Sakit Haji Medan menyimpulkan bahwa yang paling dominan menimbulkan kejadian phlebitis adalah sikap perawat yang kurang baik pada saat melaksanakan pemasangan infus (OR=2.771).
Selain itu cara pemberian obat melalui iv yang tidak baik atau tidak sesuai SOP juga sangat mempengaruhi angka kejadian plebitis. Hal ini dapat disebabkan oleh tehnik aseptik yang tidak baik saat menyuntikkan obat. Selain itu mikropartikel yang terbentuk bila partikel obat tidak larut sempurna selama pencampuran juga merupakan faktor kontribusi terhadap flebitis.

DAFTAR PUSTAKA
Arikunto.1998. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta. Rineka Cipta.
Budiarto, Eko, 2003. Metodologi Penelitian Kedokteran, Jakarta, EGC
Bauhizem. M, 1995. Ilmu Keperawatan, Jakarta, EGC.
Depkes RI, 2002. Menuju Sehat 2010, Jakarta.
, 2005. Intrumen Evaluasi Penerapan Standar Asuhan Keperawatan di Rumah Sakit. Jakarta
Darmawan Iyan, 2008. Penyebab dan Cara Mengatasi Plebitis. Diakses dari http://www.Iyan@Otsuka.com.id pada tanggal 20 September 2009.
Hastono, 2004. Biostastistik, Jakarta, EGC.
Hidayat. A.A, 2006. Pengantar Kebutuhan Dasar Manusia Aplikasi Konsep Dan Proses Keperawatan. Jakarta. Salemba Medika.
Jarumiati, 2006. Hubungan Lama Pemasangan Kateter Intravena Dengan Kejadian Plebitis Pada Pasien Dewasa Diruang Rawat Inap Bangsal Menur Dan Bakung RSUD, Wonosari. Diakses dari http://www.stikessmart@ymail.com pada tanggal 15 Desember 2009.
Klikharry. 2006. Infeksi-Nosokomial. Diakses dari http://www.wordpress.com pada tanggal 15 desember 2009
Notoatmodjo, 2002. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta. Rineka Cipta.
Perry dan potter, 1999. Keterampilan dan prosedur dasar, Jakarta, EGC.
Potter, P.A. 2004 Buku Ajar Fundamental Keperawatan Konsep, Proses dan Praktek edisi 4, alih
bahasa Renata Komalasari, Jakarta, EGC
Pujasari Hening, 2002. Angka Kejadian Phlebitis Dan Tingkat Keparahannya Di Ruang Penyakit Dalam RSCM, Jakarta. Diakses dari http://pujasari. Pada tanggal 20 September 2009.




ASUHAN KEPERAWATAN PASIEN DENGAN MASALAH BENIGNA HIPERTROPI PROSTAT (BPH)

ASUHAN KEPERAWATAN PASIEN DENGAN MASALAH
BENIGNA HIPERTROPI PROSTAT (BPH)

A. DEFINISI
BPH adalah pembesaran atau hypertropi prostat. Kelenjar prostat membesar, memanjang ke arah depan ke dalam kandung kemih dan menyumbat aliran keluar urine, dapat menyebabkan hydronefrosis dan hydroureter. Istilah Benigna Prostat Hipertropi sebenarnya tidaklah tepat karena kelenjar prostat tidaklah membesar atau hipertropi prostat, tetapi kelenjar-kelenjar periuretralah yang mengalami hiperplasia(sel-selnya bertambah banyak.
Kelenjar-kelenjar prostat sendiri akan terdesak menjadi gepeng dan disebut kapsul surgical. Maka dalam literatur di benigna hiperplasia of prostat gland atau adenoma prostat, tetapi hipertropi prostat sudah umum dipakai.

B. ETIOLOGI
Penyebab terjadinya Benigna Prostat Hipertropi belum diketahui secara pasti. Prostat merupakan alat tubuh yang bergantung kepada endokrin dan dapat pula dianggap undangan(counter part). Oleh karena itu yang dianggap etiologi adalah karena tidak adanya keseimbangan endokrin.
Namun menurut Syamsu Hidayat dan Wim De Jong tahun 1998 etiologi dari BPH adalah:
o Adanya hiperplasia periuretral yang disebabkan karena perubahan keseimbangan testosteron dan estrogen.
o Ketidakseimbangan endokrin.
o Faktor umur / usia lanjut.
o Unknown / tidak diketahui secara pasti.

C. PATOLOGI ANATOMI
Kelenjar prostate adalah suatu kelenjar fibro muscular yang melingkar Bledder neck dan bagian proksimal uretra. Berat kelenjar prostat pada orang dewasa kira-kira 20 gram dengan ukuran rata-rata:
- Panjang 3.4 cm
- Lebar 4.4 cm
- Tebal 2.6 cm
Secara embriologis terdiro dari 5 lobur:
- Lobus medius 1 buah
- Lobus anterior 1 buah
- Lobus posterior 1 buah
- Lobus lateral 2 buah
Selama perkembangannya lobus medius, lobus anterior dan lobus posterior akan menjadi saru disebut lobus medius. Pada penampang lobus medius kadang-kadang tidak tampak karena terlalu kecil dan lobus ini tampak homogen berwarna abu-abu, dengan kista kecil berisi cairan seperti susu, kista ini disebut kelenjar prostat. Pada potongan melintang uretra pada posterior kelenjar prostat terdiri dari:
- Kapsul anatomis
- Jaringan stroma yang terdiri dari jaringan fibrosa dan jaringan muskuler
- Jaringan kelenjar yang terbagi atas 3 kelompok bagian:
Ø Bagian luar disebut kelenjar sebenarnya
Ø Bagian tengah disebut kelenjar sub mukosal, lapisan ini disebut juga sebagai adenomatus zone
Ø Di sekitar uretra disebut periuretral gland
Saluran keluar dari ketiga kelenjar tersebut bersama dengan saluran dari vesika seminalis bersatu membentuk duktus ejakulatoris komunis yang bermuara ke dalam uretra. Pada laki-laki remaja prostat belum teraba pada colok dubur, sedangkan pada oran dewasa sedikit teraba dan pada orang tua biasanya mudah teraba.
Sedangkan pada penampang tonjolan pada proses hiperplasi prostat, jaringan prostat masih baik. Pertambahan unsur kelenjar menghasilkan warna kuning kemerahan, konsisitensi lunak dan berbatas jelas dengan jaringan prostat yang terdesak berwarna putih ke abu-abuan dan padat. Apabila tonjolan itu ditekan keluar cairan seperti susu.
Apabila jaringan fibromuskuler yang bertambah tonjolan berwarna abu-abu, padat dan tidak mengeluarkan cairan sehingga batas tidak jelas. Tonjolan ini dapat menekan uretra dari lateral sehingga lumen uretra menyerupai celah. Terkadang juga penonjolan ini dapat menutupi lumen uretra, tetapi fibrosis jaringan kelenjar yang berangsur-angsur mendesak prostat dan kontraksi dari vesika yang dapat mengakibatkan peradangan.

D. PATOFISIOLOGI
Menurut syamsu Hidayat dan Wim De Jong tahun 1998 adalah Umumnya gangguan ini terjadi setelah usia pertengahan akibat perubahan hormonal. Bagian paling dalam prostat membesar dengan terbentuknya adenoma yang tersebar. Pembesaran adenoma progresif menekan atau mendesak jaringan prostat yang normal ke kapsula sejati yang menghasilkan kapsula bedah. Kapsula bedah ini menahan perluasannya dan adenoma cenderung tumbuh ke dalam menuju lumennya, yang membatasi pengeluaran urin. Akhirnya diperlukan peningkatan penekanan untuk mengosongkan kandung kemih. Serat-serat muskulus destrusor berespon hipertropi, yang menghasilkan trabekulasi di dalam kandung kemih.
Pada beberapa kasus jika obsruksi keluar terlalu hebat, terjadi dekompensasi kandung kemih menjadi struktur yang flasid, berdilatasi dan sanggup berkontraksi secara efektif. Karena terdapat sisi urin, maka terdapat peningkatan infeksi dan batu kandung kemih. Peningkatan tekanan balik dapat menyebabkan hidronefrosis.
Retensi progresif bagi air, natrium, dan urea dapat menimbulkan edema hebat. Edema ini berespon cepat dengan drainage kateter. Diuresis paska operasi dapat terjadi pada pasien dengan edema hebat dan hidronefrosis setelah dihilangkan obstruksinya. Pada awalnya air, elekrolit, urin dan beban solutlainya meningkatkan diuresis ini, akhirnya kehilangan cairan yang progresif bisa merusakkan kemampuan ginjal untuk mengkonsentrasikan serta menahan air dan natrium akibat kehilangan cairan dan elekrolit yang berlebihan bisa menyebabkan hipovelemia.
Menurut Mansjoer Arif tahun 2000 pembesaran prostat terjadi secara perlahan-lahan pada traktus urinarius, terjadi perlahan-lahan. Pada tahap awal terjadi pembesaran prostat sehingga terjadi perubahan fisiologis yang mengakibatkan resistensi uretra daerah prostat, leher vesika kemudian detrusor mengatasi dengan kontraksi lebih kuat.
Sebagai akibatnya serat detrusor akan menjadi lebih tebal dan penonjolan serat detrusor ke dalam mukosa buli-buli akan terlihat sebagai balok-balok yang tampai (trabekulasi). Jika dilihat dari dalam vesika dengan sitoskopi, mukosa vesika dapat menerobos keluar di antara serat detrusor sehingga terbentuk tonjolan mukosa yang apabila kecil dinamakan sakula dan apabila besar disebut diverkel. Fase penebalan detrusor adalah fase kompensasi yang apabila berlanjut detrusor akan menjadi lelah dan akhirnya akan mengalami dekompensasi dan tidak mampu lagi untuk kontraksi, sehingga terjadi retensi urin total yang berlanjut pada hidronefrosis dan disfungsi saluran kemih atas.

E. PATHWAY
Obstruksi uretra
Penumpukan urin dlm VU
Pembedahan/prostatektomi
Kompensasi otot destrusor
Spasme otot spincter
Merangsang nociseptor
Hipotalamus
Dekompensasi otot destrusor
Potensi urin
Tek intravesikal
Refluk urin ke ginjal
Tek ureter & ginjal meningkat
Gagal ginjal
Retensi urin
Port de entrée mikroorganisme
kateterisasi
Luka insisi
Resiko disfungsi seksual
Nyeri
Resti infeksi
Resiko kekurangan vol cairan
Resiko perdarahan: resiko syok hipovolemik
Hilangnya fungsi tbh
Perub pola eliminasi
Kurang informasi ttg penyakitnya
Kurang pengetahuan
Hyperplasia periuretral
Usia lanjut
Ketidakseimbangan endokrin
BPH

F. MANIFESTASI KLINIS
Walaupun Benigna Prostat Hipertropi selalu terjadi pada orang tua, tetapi tak selalu disertai gejala-gejala klinik, hal ini terjadi karena dua hal yaitu:
1. Penyempitan uretra yang menyebabkan kesulitan berkemih
2. Retensi urin dalam kandung kemih menyebabkan dilatasi kandung kemih, hipertrofi kandung kemih dan cystitis.
Adapun gejala dan tanda yang tampak pada pasien dengan Benigna Prostat Hipertrofi:
a. Retensi urin
b. Kurangnya atau lemahnya pancaran kencing
c. Miksi yang tidak puas
d. Frekuensi kencing bertambah terutama malam hari (nocturia)
e. Pada malam hari miksi harus mengejan
f. Terasa panas, nyeri atau sekitar waktu miksi (disuria)
g. Massa pada abdomen bagian bawah
h. Hematuria
i. Urgency (dorongan yang mendesak dan mendadak untuk mengeluarkan urin)
j. Kesulitan mengawali dan mengakhiri miksi
k. Kolik renal
l. Berat badan turun
m. Anemia
Kadang-kadang tanpa sebab yang diketahui, pasien sama sekali tidak dapat berkemih sehingga harus dikeluarkan dengan kateter. Karena urin selalu terisi dalam kandung kemih, maka mudah sekali terjadi cystitis dan selaputnya merusak ginjal.

G. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
Pada pasien Benigna Prostat Hipertropi umumnya dilakukan pemeriksaan:
1. Laboratorium
Meliputi ureum (BUN), kreatinin, elekrolit, tes sensitivitas dan biakan urin
2. Radiologis
Intravena pylografi, BNO, sistogram, retrograd, USG, Ct Scanning, cystoscopy, foto polos abdomen. Indikasi sistogram retrogras dilakukan apabila fungsi ginjal buruk, ultrasonografi dapat dilakukan secara trans abdominal atau trans rectal (TRUS = Trans Rectal Ultra Sonografi), selain untuk mengetahui pembesaran prostat ultra sonografi dapat pula menentukan volume buli-buli, mengukut sisa urine dan keadaan patologi lain seperti difertikel, tumor dan batu (Syamsuhidayat dan Wim De Jong, 1997).
3. Prostatektomi Retro Pubis
Pembuatan insisi pada abdomen bawah, tetapi kandung kemih tidak dibuka, hanya ditarik dan jaringan adematous prostat diangkat melalui insisi pada anterior kapsula prostat.
4. Prostatektomi Parineal
Yaitu pembedahan dengan kelenjar prostat dibuang melalui perineum.

H. KOMPLIKASI
Komplikasi yang dapat terjadi pada hipertropi prostat adalah
a. Retensi kronik dapat menyebabkan refluks vesiko-ureter, hidroureter, hidronefrosis, gagal ginjal.
b. Proses kerusakan ginjal dipercepat bila terjadi infeksi pada waktu miksi
c. Hernia / hemoroid
d. Karena selalu terdapat sisa urin sehingga menyebabkan terbentuknya batu
e. Hematuria
f. Sistitis dan Pielonefritis

I. FOKUS PENGKAJIAN
Dari data yang telah dikumpulkan pada pasien dengan BPH : Post Prostatektomi dapat penulis kelompokkan menjadi:
a) Data subyektif:
- Pasien mengeluh sakit pada luka insisi.
- Pasien mengatakan tidak bisa melakukan hubungan seksual.
- Pasien selalu menanyakan tindakan yang dilakukan
- Pasien mengatakan buang air kecil tidak terasa.
b) Data Obyektif:
- Terdapat luka insisi
- Takikardi
- Gelisah
- Tekanan darah meningkat
- Ekspresi w ajah ketakutan
- Terpasang kateter

J. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Gangguan rasa nyamam: nyeri berhubungan dengan spasme otot spincter
2. Perubahan pola eliminasi : retensi urin berhubungan dengan obstruksi sekunder
3. Disfungsi seksual berhubungan dengan hilangnya fungsi tubuh
4. Potensial terjadinya infeksi berhubungan dengan port de entrée mikroorganisme melalui kateterisasi
5. Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurang informasi tentang penyakit, perawatannya.

K. RENCANA KEPERAWATAN
1. Gangguan rasa nyaman: nyeri berhubungan dengan spasme otot spincter
Tujuan: Setelah dilakukan perawatan selama 3-5 hari pasien mampu mempertahankan derajat kenyamanan secara adekuat.
Kriteria hasil:
- Secara verbal pasien mengungkapkan nyeri berkurang atau hilang
- Pasien dapat beristirahat dengan tenang.
Intervensi:
a. Monitor dan catat adanya rasa nyeri, lokasi, durasi dan faktor pencetus serta penghilang nyeri.
b. Observasi tanda-tanda non verbal nyeri (gelisah, kening mengkerut, peningkatan tekanan darah dan denyut nadi)
c. Beri ompres hangat pada abdomen terutama perut bagian bawah
d. Anjurkan pasien untuk menghindari stimulan (kopi, teh, merokok, abdomen tegang)
e. Atur posisi pasien senyaman mungkin, ajarkan teknik relaksasi
f. Lakukan perawatan aseptik terapeutik
g. Laporkan pada dokter jika nyeri meningkat




2. Perubahan pola eliminasi urine: retensi urin berhubungan dengan obstruksi sekunder.
Tujuan: Setelah dilakukan perawatan selama 5-7 hari pasien tidak mengalami retensi urin
Kriteria: Pasien dapat buang air kecil teratur bebas dari distensi kandung kemih.
Intervensi:
a. Lakukan irigasi kateter secara berkala atau terus- menerus dengan teknik steril
b. Atur posisi selang kateter dan urin bag sesuai gravitasi dalam keadaan tertutup
c. Observasi adanya tanda-tanda shock/hemoragi (hematuria, dingin, kulit lembab, takikardi, dispnea)
d. Mempertahankan kesterilan sistem drainage cuci tangan sebelum dan sesudah menggunakan alat dan observasi aliran urin serta adanya bekuan darah atau jaringan
e. Monitor urine setiap jam (hari pertama operasi) dan setiap 2 jam (mulai hari kedua post operasi)
f. Ukur intake output cairan
g. Beri tindakan asupan/pemasukan oral 2000-3000 ml/hari, jika tidak ada kontra indikasi
h. Berikan latihan perineal (kegel training) 15-20x/jam selama 2-3 minggu, anjurkan dan motivasi pasien untuk melakukannya.

3. Resiko tinggi disfungsi seksual berhubungan dengan sumbatan saluran ejakulasi, hilangnya fungsi tubuh
Tujuan: Setelah dilakukan perawatn selama 1-3 hari pasien mampu mempertahankan fungsi seksualnya
Kriteria hasil: Pasien menyadari keadaannya dan akan mulai lagi intaraksi seksual dan aktivitas secara optimal.
Intervensi:
a. Motivasi pasien untuk mengungkapkan perasaannya yang berhubungan dengan perubahannya
b. Jawablah setiap pertanyaan pasien dengan tepat
c. Beri kesempatan pada pasien untuk mendiskusikan perasaannya tentang efek prostatektomi dalam fungsi seksual
d. Libatkan kelurga/istri dalam perawatan pmecahan masalah fungsi seksual
e. Beri penjelasan penting tentang:
i. Impoten terjadi pada prosedur radikal
j. Adanya kemungkinan fungsi seksual kembali normal
k. Adanya kemunduran ejakulasi
f. Anjurkan pasien untuk menghindari hubungan seksual selama 1 bulan (3-4 minggu) setelah operasi.

Resiko terjadinya infeksi berhubungan dengan port de entrée ikroorganisme melalui kateterisasi
Tujuan: Setelah dilakukan perawatan selama 1-3 hari pasien terbebas dari infeksi
Kriteria hasil:
a. Tanda-tanda vital dalam batas normal
b. Tidak ada bengkak, aritema, nyeri
c. Luka insisi semakin sembuh dengan baik
Intervensi:
a. Lakukan irigasi kandung kemih dengan larutan steril.
b. Observasi insisi (adanya indurasi drainage dan kateter), (adanya sumbatan, kebocoran)
c. Lakukan perawatan luka insisi secara aseptik, jaga kulit sekitar kateter dan drainage
d. Monitor balutan luka, gunakan pengikat bentuk T perineal untuk menjamin dressing
e. Monitor tanda-tanda sepsis (nadi lemah, hipotensi, nafas meningkat, dingin)

3. Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurang informasi tentang penyakit, perawatannya
Tujuan : Setelah dilakukan perawatan selama 1-2 hari
Kriteria : Secara verbal pasien mengerti dan mampu mengungkapkan dan mendemonstrasikan perawatan
Intervensi:
a. Motivasi pasien/ keluarga untuk mengungkapkan pernyataannya tentang penyakit, perawat
b. Berikan pendidikan pada pasien/keluarga tentang:
a. Perawatan luka, pemberian nutrisi, cairan irigasi, kateter
b. Perawatan di rumah
c. Adanya tanda-tanda hemoragi, infeksi

askep epilepsi

ASKEP EPILEPSI
2.1. Definisi
Epilepsi merupakan sindrom yang ditandai oleh kejang yang terjadi berulang- ulang. Diagnose ditegakkan bila seseorang mengalami paling tidak dua kali kejang tanpa penyebab (Jastremski, 1988).
Epilepsi adalah penyakit serebral kronik dengan karekteristik kejang berulang akibat lepasnya muatan listrik otak yang berlebihan dan bersivat reversibel (Tarwoto, 2007).
Epilepsi adalah gangguan kronik otak dengan ciri timbulnya gejala-gejala yang datang dalam serangan-serangan, berulang-ulang yang disebabkan lepas muatan listrik abnormal sel-sel saraf otak, yang bersifat reversibel dengan berbagai etiologi (Arif, 2000).
Epilepsi adalah sindroma otak kronis dengan berbagai macam etiologi dengan ciri-ciri timbulnya serangan paroksismal dan berkala akibat lepas muatan listrik neuron-neuron otak secara berlebihan dengan berbagai manifestasi klinik dan laboratorik.
2.2. Etiologi
Penyebab pada kejang epilepsi sebagian besar belum diketahui (idiopatik), sering terjadi pada:
1. Trauma lahir, Asphyxia neonatorum
2. Cedera Kepala, Infeksi sistem syaraf
3. Keracunan CO, intoksikasi obat/alkohol
4. Demam, ganguan metabolik (hipoglikemia, hipokalsemia, hiponatremia)
5. Tumor Otak
6. Kelainan pembuluh darah (Tarwoto, 2007).
Faktor etiologi berpengaruh terhadap penentuan prognosis. Penyebab utama, ialah epilepsi idopatik, remote simtomatik epilepsi (RSE), epilepsi simtomatik akut, dan epilepsi pada anak-anak yang didasari oleh kerusakan otak pada saat peri- atau antenatal. Dalam klasifikasi tersebut ada dua jenis epilepsi menonjol, ialah epilepsi idiopatik dan RSE. Dari kedua tersebut terdapat banyak etiologi dan sindrom yang berbeda, masing-masing dengan prognosis yang baik dan yang buruk.
Dipandang dari kemungkinan terjadinya bangkitan ulang pasca-awitan, definisi neurologik dalam kaitannya dengan umur saat awitan mempunyai nilai prediksi sebagai berikut:
Apabila pada saat lahir telah terjadi defisit neurologik maka dalam waktu 12 bulan pertama seluruh kasus akan mengalami bangkitan ulang, Apabila defisit neurologik terjadi pada saat pascalahir maka resiko terjadinya bangkitan ulang adalah 75% pada 12 bulan pertama dan 85% dalam 36 bulan pertama. Kecuali itu, bangkitan pertama yang terjadi pada saat terkena gangguan otak akut akan mempunyai resiko 40% dalam 12 bulan pertama dan 36 bulan pertama untuk terjadinya bangkitan ulang. Secara keseluruhan resiko untuk terjadinya bangkitan ulang tidak konstan. Sebagian besar kasus menunjukan bangkitan ulang dalam waktu 6 bulan pertama.
Perubahan bisa terjadi pada awal saat otak janin mulai berkembang, yakni pada bulan pertama dan kedua kehamilan. Dapat pula diakibatkan adanya gangguan pada ibu hamil muda seperti infeksi, demam tinggi, kurang gizi (malnutrisi) yang bisa menimbulkan bekas berupa kerentanan untuk terjadinya kejang. Proses persalinan yang sulit, persalinan kurang bulan atau telat bulan (serotinus) mengakibatkan otak janin sempat mengalami kekurangan zat asam dan ini berpotensi menjadi ”embrio” epilepsi. Bahkan bayi yang tidak segera menangis saat lahir atau adanya gangguan pada otak seperti infeksi/radang otak dan selaput otak, cedera karena benturan fisik/trauma serta adanya tumor otak atau kelainan pembuluh darah otak juga memberikan kontribusi terjadinya epilepsi.
Tabel 01. Penyebab- penyebab kejang pada epilepsi
Bayi (0- 2 th)
Hipoksia dan iskemia paranatal
Cedera lahir intrakranial
Infeksi akut
Gangguan metabolik (hipoglikemia, hipokalsemia, hipomagnesmia, defisiensi piridoksin)
Malformasi kongenital
Gangguan genetic
Anak (2- 12 th) Idiopatik
Infeksi akut
Trauma
Kejang demam
Remaja (12- 18 th) Idiopatik
Trauma
Gejala putus obat dan alcohol
Malformasi anteriovena
Dewasa Muda (18- 35 th) Trauma
Alkoholisme
Tumor otak
Dewasa lanjut (> 35) Tumor otak
Penyakit serebrovaskular
Gangguan metabolik (uremia, gagal hepatik, dll )
Alkoholisme
2.3. Patofisiologi
Otak merupakan pusat penerima pesan (impuls sensorik) dan sekaligus merupakan pusat pengirim pesan (impuls motorik). Otak ialah rangkaian berjuta-juta neuron. Pada hakekatnya tugas neuron ialah menyalurkan dan mengolah aktivitas listrik saraf yang berhubungan satu dengan yang lain melalui sinaps. Dalam sinaps terdapat zat yang dinamakan neurotransmiter. Asetilkolin dan norepinerprine ialah neurotranmiter eksitatif, sedangkan zat lain yakni GABA (gama-amino-butiric-acid) bersifat inhibitif terhadap penyaluran aktivitas listrik sarafi dalam sinaps. Bangkitan epilepsi dicetuskan oleh suatu sumber gaya listrik di otak yang dinamakan fokus epileptogen. Dari fokus ini aktivitas listrik akan menyebar melalui sinaps dan dendrit ke neron-neron di sekitarnya dan demikian seterusnya sehingga seluruh belahan hemisfer otak dapat mengalami muatan listrik berlebih (depolarisasi). Pada keadaan demikian akan terlihat kejang yang mula-mula setempat selanjutnya akan menyebar ke bagian tubuh/anggota gerak yang lain pada satu sisi tanpa disertai hilangnya kesadaran. Dari belahan hemisfer yang mengalami depolarisasi, aktivitas listrik dapat merangsang substansia retikularis dan inti pada talamus yang selanjutnya akan menyebarkan impuls-impuls ke belahan otak yang lain dan dengan demikian akan terlihat manifestasi kejang umum yang disertai penurunan kesadaran.
Selain itu, epilepsi juga disebabkan oleh instabilitas membran sel saraf, sehingga sel lebih mudah mengalami pengaktifan. Hal ini terjadi karena adanya influx natrium ke intraseluler. Jika natrium yang seharusnya banyak di luar membrane sel itu masuk ke dalam membran sel sehingga menyebabkan ketidakseimbangan ion yang mengubah keseimbangan asam-basa atau elektrolit, yang mengganggu homeostatis kimiawi neuron sehingga terjadi kelainan depolarisasi neuron. Gangguan keseimbangan ini menyebabkan peningkatan berlebihan neurotransmitter aksitatorik atau deplesi neurotransmitter inhibitorik.
Kejang terjadi akibat lepas muatan paroksismal yang berlebihan dari sebuah fokus kejang atau dari jaringan normal yang terganggu akibat suatu keadaan patologik. Aktivitas kejang sebagian bergantung pada lokasi muatan yang berlebihan tersebut. Lesi di otak tengah, talamus, dan korteks serebrum kemungkinan besar bersifat apileptogenik, sedangkan lesi di serebrum dan batang otak umumnya tidak memicu kejang. Di tingkat membran sel, sel fokus kejang memperlihatkan beberapa fenomena biokimiawi, termasuk yang berikut :
1) Instabilitas membran sel saraf, sehingga sel lebih mudah mengalami pengaktifan.
2) Neuron-neuron hipersensitif dengan ambang untuk melepaskan muatan menurun dan apabila terpicu akan melepaskan muatan menurun secara berlebihan.
3) Kelainan polarisasi (polarisasi berlebihan, hipopolarisasi, atau selang waktu dalam repolarisasi) yang disebabkan oleh kelebihan asetilkolin atau defisiensi asam gama-aminobutirat (GABA).
4) Ketidakseimbangan ion yang mengubah keseimbangan asam-basa atau elektrolit, yang mengganggu homeostatis kimiawi neuron sehingga terjadi kelainan depolarisasi neuron. Gangguan keseimbangan ini menyebabkan peningkatan berlebihan neurotransmitter aksitatorik atau deplesi neurotransmitter inhibitorik.
Perubahan-perubahan metabolik yang terjadi selama dan segera setelah kejang sebagian disebabkan oleh meningkatkannya kebutuhan energi akibat hiperaktivitas neuron. Selama kejang, kebutuhan metabolik secara drastis meningkat, lepas muatan listrik sel-sel saraf motorik dapat meningkat menjadi 1000 per detik. Aliran darah otak meningkat, demikian juga respirasi dan glikolisis jaringan. Asetilkolin muncul di cairan serebrospinalis (CSS) selama dan setelah kejang. Asam glutamat mungkin mengalami deplesi (proses berkurangnya cairan atau darah dalam tubuh terutama karena pendarahan; kondisi yang diakibatkan oleh kehilangan cairan tubuh berlebihan) selama aktivitas kejang.
Secara umum, tidak dijumpai kelainan yang nyata pada autopsi. Bukti histopatologik menunjang hipotesis bahwa lesi lebih bersifat neurokimiawi bukan struktural. Belum ada faktor patologik yang secara konsisten ditemukan. Kelainan fokal pada metabolisme kalium dan asetilkolin dijumpai di antara kejang. Fokus kejang tampaknya sangat peka terhadap asetikolin, suatu neurotransmitter fasilitatorik, fokus-fokus tersebut lambat mengikat dan menyingkirkan asetilkolin.
Gambar 2: bagian- bagian neuron
2.4. Klasifikasi Kejang
2.4.1. Berdasarkan penyebabnya
a. epilepsi idiopatik : bila tidak di ketahui penyebabnya
b. epilepsi simtomatik : bila ada penyebabnya
2.4.2. Berdasarkan letak focus epilepsi atau tipe bangkitan
a. Epilepsi partial (lokal, fokal)
1) Epilepsi parsial sederhana, yaitu epilepsi parsial dengan kesadaran tetap normal
Dengan gejala motorik
 Fokal motorik tidak menjalar: epilepsi terbatas pada satu bagian tubuh saja
Fokal motorik menjalar : epilepsi dimulai dari satu bagian tubuh dan menjalar meluas ke daerah lain. Disebut juga epilepsi Jackson.
 Versif : epilepsi disertai gerakan memutar kepala, mata, tuibuh.
 Postural : epilepsi disertai dengan lengan atau tungkai kaku dalam sikap tertentu
 Disertai gangguan fonasi : epilepsi disertai arus bicara yang terhenti atau pasien mengeluarkan bunyi-bunyi tertentu
Dengan gejala somatosensoris atau sensoris spesial (epilepsi disertai halusinasi sederhana yang mengenai kelima panca indera dan bangkitan yang disertai vertigo).
 Somatosensoris: timbul rasa kesemuatan atau seperti ditusuk-tusuk jarum.
 Visual : terlihat cahaya
 Auditoris : terdengar sesuatu
 Olfaktoris : terhidu sesuatu
 Gustatoris : terkecap sesuatu
 Disertai vertigo
Dengan gejala atau tanda gangguan saraf otonom (sensasi epigastrium, pucat, berkeringat, membera, piloereksi, dilatasi pupil).
Dengan gejala psikis (gangguan fungsi luhur)
 Disfagia : gangguan bicara, misalnya mengulang suatu suku kata, kata atau bagian kalimat.
Dimensia : gangguan proses ingatan misalnya merasa seperti sudah mengalami, mendengar, melihat, atau sebaliknya. Mungkin mendadak mengingat suatu peristiwa di masa lalu, merasa seperti melihatnya lagi.
 Kognitif : gangguan orientasi waktu, merasa diri berubah.
 Afektif : merasa sangat senang, susah, marah, takut.
 Ilusi : perubahan persepsi benda yang dilihat tampak lebih kecil atau lebih besar.
 Halusinasi kompleks (berstruktur) : mendengar ada yang bicara, musik, melihat suatu fenomena tertentu, dll.
2) Epilepsi parsial kompleks, yaitu kejang disertai gangguan kesadaran.
Serangan parsial sederhana diikuti gangguan kesadaran : kesadaran mula-mula baik kemudian baru menurun.
 Dengan gejala parsial sederhana A1-A4. Gejala-gejala seperti pada golongan A1-A4 diikuti dengan menurunnya kesadaran.
Dengan automatisme. Yaitu gerakan-gerakan, perilaku yang timbul dengan sendirinya, misalnya gerakan mengunyah, menelan, raut muka berubah seringkali seperti ketakutan, menata sesuatu, memegang kancing baju, berjalan, mengembara tak menentu, dll.
Dengan penurunan kesadaran sejak serangan; kesadaran menurun sejak permulaan kesadaran.
 Hanya dengan penurunan kesadaran
 Dengan automatisme
3) Epilepsi Parsial yang berkembang menjadi bangkitan umum (tonik-klonik, tonik, klonik).
Epilepsi parsial sederhana yang berkembang menjadi bangkitan umum.
Epilepsi parsial kompleks yang berkembang menjadi bangkitan umum.
Epilepsi parsial sederhana yang menjadi bangkitan parsial kompleks lalu berkembang menjadi bangkitan umum.
b. Epilepsi umum
1) Petit mal/ Lena (absence)
Lena khas (tipical absence)
Pada epilepsi ini, kegiatan yang sedang dikerjakan terhenti, muka tampak membengong, bola mata dapat memutar ke atas, tak ada reaksi bila diajak bicara. Biasanya epilepsi ini berlangsung selama ¼ – ½ menit dan biasanya dijumpai pada anak.
 Hanya penurunan kesadaran
Dengan komponen klonik ringan. Gerakan klonis ringan, biasanya dijumpai pada kelopak mata atas, sudut mulut, atau otot-otot lainnya bilateral.
Dengan komponen atonik. Pada epilepsi ini dijumpai otot-otot leher, lengan, tangan, tubuh mendadak melemas sehingga tampak mengulai.
Dengan komponen klonik. Pada epilepsi ini, dijumpai otot-otot ekstremitas, leher atau punggung mendadak mengejang, kepala, badan menjadi melengkung ke belakang, lengan dapat mengetul atau mengedang.
 Dengan automatisme
 Dengan komponen autonom.
Lena tak khas (atipical absence)
Dapat disertai:
 Gangguan tonus yang lebih jelas.
 Permulaan dan berakhirnya bangkitan tidak mendadak.
2) Grand Mal
Mioklonik
Pada epilepsi mioklonik terjadi kontraksi mendadak, sebentar, dapat kuat atau lemah sebagian otot atau semua otot, seringkali atau berulang-ulang. Bangkitan ini dapat dijumpai pada semua umur.
Klonik
Pada epilepsi ini tidak terjadi gerakan menyentak, repetitif, tajam, lambat, dan tunggal multiple di lengan, tungkai atau torso. Dijumpai terutama sekali pada anak.
Tonik
Pada epilepsi ini tidak ada komponen klonik, otot-otot hanya menjadi kaku pada wajah dan bagian tubuh bagian atas, flaksi lengan dan ekstensi tungkai. Epilepsi ini juga terjadi pada anak.
Tonik- klonik
Epilepsi ini sering dijumpai pada umur di atas balita yang terkenal dengan nama grand mal. Serangan dapat diawali dengan aura, yaitu tanda-tanda yang mendahului suatu epilepsi. Pasien mendadak jatuh pingsan, otot-otot seluruh badan kaku. Kejang kaku berlangsung kira-kira ¼ – ½ menit diikutti kejang kejang kelojot seluruh tubuh. Bangkitan ini biasanya berhenti sendiri. Tarikan napas menjadi dalam beberapa saat lamanya. Bila pembentukan ludah ketika kejang meningkat, mulut menjadi berbusa karena hembusan napas. Mungkin pula pasien kencing ketika mendapat serangan. Setelah kejang berhenti pasien tidur beberapa lamanya, dapat pula bangun dengan kesadaran yang masih rendah, atau langsung menjadi sadar dengan keluhan badan pegal-pegal, lelah, nyeri kepala.
Atonik
Pada keadaan ini otot-otot seluruh badan mendadak melemas sehingga pasien terjatuh. Kesadaran dapat tetap baik atau menurun sebentar. Epilepsi ini terutama sekali dijumpai pada anak.
c. Epilepsi tak tergolongkan
Termasuk golongan ini ialah bangkitan pada bayi berupa gerakan bola mata yang ritmik, mengunyah, gerakan seperti berenang, menggigil, atau pernapasan yang mendadak berhenti sederhana.
2.5. Manifestasi Klinis dan Perilaku
a) Manifestasi klinik dapat berupa kejang-kejang, gangguan kesadaran atau gangguan penginderaan
b) Kelainan gambaran EEG
c) Bagian tubuh yang kejang tergantung lokasi dan sifat fokus epileptogen
d) Dapat mengalami aura yaitu suatu sensasi tanda sebelum kejang epileptik (aura dapat berupa perasaan tidak enak, melihat sesuatu, mencium bau-bauan tidak enak, mendengar suara gemuruh, mengecap sesuatu, sakit kepala dan sebagainya)
e) Napas terlihat sesak dan jantung berdebar
f) Raut muka pucat dan badannya berlumuran keringat
g) Satu jari atau tangan yang bergetar, mulut tersentak dengan gejala sensorik khusus atau somatosensorik seperti: mengalami sinar, bunyi, bau atau rasa yang tidak normal seperti pada keadaan normal
h) Individu terdiam tidak bergerak atau bergerak secara automatik, dan terkadang individu tidak ingat kejadian tersebut setelah episode epileptikus tersebut lewat
i) Di saat serangan, penyandang epilepsi terkadang juga tidak dapat berbicara secara tiba- tiba
j) Kedua lengan dan tangannya kejang, serta dapat pula tungkainya menendang- menendang
k) Gigi geliginya terkancing
l) Hitam bola matanya berputar- putar
m) Terkadang keluar busa dari liang mulut dan diikuti dengan buang air kecil
Gambar1: Kejang epilepsi
Di saat serangan, penyandang epilepsi tidak dapat bicara secara tiba-tiba. Kesadaran menghilang dan tidak mampu bereaksi terhadap rangsangan. Tidak ada respon terhadap rangsangan baik rangsang pendengaran, penglihatan, maupun rangsang nyeri. Badan tertarik ke segala penjuru. Kedua lengan dan tangannya kejang, sementara tungkainya menendang-nendang. Gigi geliginya terkancing. Hitam bola mata berputar-putar. Dari liang mulut keluar busa. Napasnya sesak dan jantung berdebar. Raut mukanya pucat dan badannya berlumuran keringat. Terkadang diikuti dengan buang air kecil. Manifestasi tersebut dimungkinkan karena terdapat sekelompok sel-sel otak yang secara spontan, di luar kehendak, tiba-tiba melepaskan muatan listrik. Zainal Muttaqien (2001) mengatakan keadaan tersebut bisa dikarenakan oleh adanya perubahan, baik perubahan anatomis maupun perubahan biokimiawi pada sel-sel di otak sendiri atau pada lingkungan sekitar otak. Terjadinya perubahan ini dapat diakibatkan antara lain oleh trauma fisik, benturan, memar pada otak, berkurangnya aliran darah atau zat asam akibat penyempitan pembuluh darah atau adanya pendesakan/rangsangan oleh tumor. Perubahan yang dialami oleh sekelompok sel-sel otak yang nantinya menjadi biang keladi terjadinya epilepsi diakibatkan oleh berbagai faktor.
2.6. Pemeriksaan Diagnostik
a) CT Scan dan Magnetik resonance imaging (MRI) untuk mendeteksi lesi pada otak, fokal abnormal, serebrovaskuler abnormal, gangguan degeneratif serebral. Epilepsi simtomatik yang didasari oleh kerusakan jaringan otak yang tampak jelas pada CT scan atau magnetic resonance imaging (MRI) maupun kerusakan otak yang tak jelas tetapi dilatarbelakangi oleh masalah antenatal atau perinatal dengan defisit neurologik yang jelas
b) Elektroensefalogram(EEG) untuk mengklasifikasi tipe kejang, waktu serangan
c) Kimia darah: hipoglikemia, meningkatnya BUN, kadar alkohol darah.
 mengukur kadar gula, kalsium dan natrium dalam darah
 menilai fungsi hati dan ginjal
 menghitung jumlah sel darah putih (jumlah yang meningkat menunjukkan adanya infeksi).
 Pungsi lumbal utnuk mengetahui apakah telah terjadi infeksi otak
2.7. Penatalaksanaan
Manajemen Epilepsi :
a) Pastikan diagnosa epilepsi dan mengadakan explorasi etiologi dari epilepsi
b) Melakukan terapi simtomatik
c) Dalam memberikan terapi anti epilepsi yang perlu diingat sasaran pengobatan yang dicapai, yakni:
- Pengobatan harus di berikan sampai penderita bebas serangan.
- Pengobatan hendaknya tidak mengganggu fungsi susunan syaraf pusat yang normal.
- Penderita dpat memiliki kualitas hidup yang optimal.
Penatalaksanaan medis ditujukan terhadap penyebab serangan. Jika penyebabnya adalah akibat gangguan metabolisme (hipoglikemia, hipokalsemia), perbaikan gangguan metabolism ini biasanya akan ikut menghilangkan serangan itu.
Pengendalian epilepsi dengan obat dilakukan dengan tujuan mencegah serangan. Ada empat obat yang ternyata bermanfaat untuk ini: fenitoin (difenilhidantoin), karbamazepin, fenobarbital, dan asam valproik. Kebanyakan pasien dapat dikontrol dengan salah satu dari obat tersebut di atas.
Cara menanggulangi kejang epilepsi :
1. Selama Kejang
a) Berikan privasi dan perlindungan pada pasien dari penonton yang ingin tahu
b) Mengamankan pasien di lantai jika memungkinkan
c) Hindarkan benturan kepala atau bagian tubuh lainnya dari bendar keras, tajam atau panas. Jauhkan ia dari tempat / benda berbahaya.
d) Longgarkan bajunya. Bila mungkin, miringkan kepalanya kesamping untuk mencegah lidahnya menutupi jalan pernapasan.
e) Biarkan kejang berlangsung. Jangan memasukkan benda keras diantara giginya, karena dapat mengakibatkan gigi patah. Untuk mencegah gigi klien melukai lidah, dapat diselipkan kain lunak disela mulut penderita tapi jangan sampai menutupi jalan pernapasannya.
f) Ajarkan penderita untuk mengenali tanda2 awal munculnya epilepsi atau yg biasa disebut “aura”. Aura ini bisa ditandai dengan sensasi aneh seperti perasaan bingung, melayang2, tidak fokus pada aktivitas, mengantuk, dan mendengar bunyi yang melengking di telinga. Jika Penderita mulai merasakan aura, maka sebaiknya berhenti melakukan aktivitas apapun pada saat itu dan anjurkan untuk langsung beristirahat atau tidur.
g) Bila serangan berulang-ulang dalam waktu singkat atau penyandang terluka berat, bawa ia ke dokter atau rumah sakit terdekat.
2. Setelah Kejang
a) Penderita akan bingung atau mengantuk setelah kejang terjadi.
b) Pertahankan pasien pada salah satu sisi untuk mencegah aspirasi. Yakinkan bahwa jalan napas paten.
c) Biasanya terdapat periode ekonfusi setelah kejang grand mal
d) Periode apnea pendek dapat terjadi selama atau secara tiba- tiba setelah kejang
e) Pasien pada saaat bangun, harus diorientasikan terhadap lingkungan
f) Beri penderita minum untuk mengembalikan energi yg hilang selama kejang dan biarkan penderita beristirahat.
g) Jika pasien mengalami serangan berat setelah kejang (postiktal), coba untuk menangani situasi dengan pendekatan yang lembut dan member restrein yang lembut
h) Laporkan adanya serangan pada kerabat terdekatnya. Ini penting untuk pemberian pengobatan oleh dokter.
Penanganan terhadap penyakit ini bukan saja menyangkut penanganan medikamentosa dan perawatan belaka, namun yang lebih penting adalah bagaimana meminimalisasikan dampak yang muncul akibat penyakit ini bagi penderita dan keluarga maupun merubah stigma masyarakat tentang penderita epilepsi.
2.8. Pencegahan
Upaya sosial luas yang menggabungkan tindakan luas harus ditingkatkan untuk pencegahan epilepsi. Resiko epilepsi muncul pada bayi dari ibu yang menggunakan obat antikonvulsi (konvulsi: spasma atau kekejangan kontraksi otot yang keras dan terlalu banyak, disebabkan oleh proses pada system saraf pusat, yang menimbulkan pula kekejangan pada bagian tubuh) yang digunakan sepanjang kehamilan. Cedera kepala merupakan salah satu penyebab utama yang dapat dicegah. Melalui program yang memberi keamanan yang tinggi dan tindakan pencegahan yang aman, yaitu tidak hanya dapat hidup aman, tetapi juga mengembangkan pencegahan epilepsi akibat cedera kepala. Ibu-ibu yang mempunyai resiko tinggi (tenaga kerja, wanita dengan latar belakang sukar melahirkan, pengguna obat-obatan, diabetes, atau hipertensi) harus di identifikasi dan dipantau ketat selama hamil karena lesi pada otak atau cedera akhirnya menyebabkan kejang yang sering terjadi pada janin selama kehamilan dan persalinan.
Program skrining untuk mengidentifikasi anak gangguan kejang pada usia dini, dan program pencegahan kejang dilakukan dengan penggunaan obat-obat anti konvulsan secara bijaksana dan memodifikasi gaya hidup merupakan bagian dari rencana pencegahan ini.
2.9. Pengobatan
Pengobatan epilepsi adalah pengobatan jangka panjang. Penderita akan diberikan obat antikonvulsan untuk mengatasi kejang sesuai dengan jenis serangan. Penggunaan obat dalam waktu yang lama biasanya akan menyebabkan masalah dalam kepatuhan minum obat (compliance) seta beberapa efek samping yang mungkin timbul seperti pertumbuhan gusi, mengantuk, hiperaktif, sakit kepala, dll.
Penyembuhan akan terjadi pada 30-40% anak dengan epilepsi. Lama pengobatan tergantung jenis epilepsi dan etiologinya. Pada serangan ringan selama 2-3th sudah cukup, sedang yang berat pengobatan bisa lebih dari 5th. Penghentian pengobatan selalu harus dilakukan secara bertahap. Tindakan pembedahan sering dipertimbangkan bila pengobatan tidak memberikan efek sama sekali.
Penanganan terhadap anak kejang akan berpengaruh terhadap kecerdasannya. Jika terlambat mengatasi kejang pada anak, ada kemungkinan penyakit epilepsi, atau bahkan keterbalakangan mental. Keterbelakangan mental di kemudian hari. Kondisi yang menyedihkan ini bisa berlangsung seumur hidupnya.
Pada epilepsi umum sekunder, obat-obat yang menjadi lini pertama pengobatan adalah karbamazepin dan fenitoin. Gabapentin, lamotrigine, fenobarbital, primidone, tiagabine, topiramate, dan asam valproat digunakan sebagai pengobatan lini kedua. Terapi dimulai dengan obat anti epilepsi garis pertama. Bila plasma konsentrasi obat di ambang atas tingkat terapeutis namun penderita masih kejang dan AED tak ada efek samping, maka dosis harus ditingkatkan. Bila perlu diberikan gabungan dari 2 atau lebih AED, bila tak mempan diberikan AED tingkat kedua sebagai add on.11
Fenitoin (PHT)
Fenitoin dapat mengurangi masuknya Na ke dalam neuron yang terangsang dan mengurangi amplitudo dan kenaikan maksimal dari aksi potensial saluran Na peka voltase fenitoin dapat merintangi masuknya Ca ke dalam neuron pada pelepasan neurotransmitter.11
Karbamazepin (CBZ)
Karbamazepin dapat menghambat saluran Na . Karbamazepin dapat memperpanjang inaktivasi saluran Na .juga menghambat masuknya Ca ke dalam membran sinaptik.11
Fenobarbital (PB)
Fenobarbital adalah obat yang digunakan secara luas sebagai hipnotik, sedatif dan anastetik. Fenobarbital bekerja memperkuat hambatan GABAergik dengan cara mengikat ke sisi kompleks saluran reseptor Cl- pada GABAA. Pada tingkat selular, fenobarbital memperpanjang potensial penghambat postsinaptik, bukan penambahan amplitudonya. Fenobarbital menambah waktu buka jalur Cl- dan menambah lamanya letupan saluran Cl- yang dipacu oleh GABA. Seperti fenitoin dan karbamazepin, fenobarbital dapat memblokade aksi potensial yang diatur oleh Na . Fenobarbital mengurangi pelepasan transmitter dari terminal saraf dengan cara memblokade saluran Ca peka voltase.11
Asam valproat (VPA)
VPA menambah aktivitas GABA di otak dengan cara menghambat GABA-transaminase dan suksinik semialdehide dehidrogenase, enzim pertama dan kedua pada jalur degradasi, dan aldehide reduktase.
VPA bekerja pada saluran Na peka voltase, dan menghambat letupan frekuensi tinggi dari neuron.
VPA memblokade rangsangan frekuensi rendah 3Hz dari neuron thalamus.11
Gabapentin (GBP)
Cara kerja: mengikat pada reseptor spesifik di otak, menghambat saluran Na peka voltase, dapat menambah pelepasan GABA.11
Lamotrigin (LTG)
Cara kerja: Menghambat saluran Na peka voltase.11
Topiramate (TPM)
Cara kerja: Menghambat saluran Na , menambah kerja hambat dari GABA.11
Tiagabine (TGB)
Cara kerja: menghambat kerja GABA dengan cara memblokir uptake-nya.
Selain pemilihan dan penggunaan optimal dari AED, harus diingat akan efek jangka panjang dari terapi farmakologik. Karbamazepin, fenobarbital, fenitoin, primidone, dan asam valproat dapat menyebabkan osteopenia, osteomalasia, dan fraktur. Fenobarbital dan primidone dapat menyebabkan gangguan jaringan ikat, mis frozen shoulder da kontraktur Dupuytren. Fenitoin dapat menyebabkan neuropati perifer. Asam valproat dapat menyebabkan polikistik ovari dan hiperandrogenisme.
2.10. Prognosis
Prognosis epilepsi bergantung pada beberapa hal, di antaranya jenis epilepsi faktor penyebab, saat pengobatan dimulai, dan ketaatan minum obat. Pada umumnya prognosis epilepsi cukup menggembirakan. Pada 50-70% penderita epilepsi serangan dapat dicegah dengan obat-obat, sedangkan sekitar 50 % pada suatu waktu akan dapat berhenti minum obat. Serangan epilepsi primer, baik yang bersifat kejang umum maupun serangan lena atau melamun atau absence mempunyai prognosis terbaik. Sebaliknya epilepsi yang serangan pertamanya mulai pada usia 3 tahun atau yang disertai kelainan neurologik dan atau retardasi mental mempunyai prognosis relatif jelek.
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN
3.1. Pengkajian
a) Biodata : Nama ,umur, seks, alamat, suku, bangsa, pendidikan, pekerjaan, dan penanggungjawabnya.
Usia: Penyakit epilepsi dapat menyerang segala umur
Pekerjaan: Seseorang dengan pekerjaan yang sering kali menimbulkan stress dapat memicu terjadinya epilepsi.
Kebiasaan yang mempengaruhi: peminum alcohol (alcoholic)
b) Keluhan utama: Untuk keluhan utama, pasien atau keluarga biasanya ketempat pelayanan kesehatan karena klien yang mengalami penurunan kesadaran secara tiba-tiba disertai mulut berbuih. Kadang-kadang klien / keluarga mengeluh anaknya prestasinya tidak baik dan sering tidak mencatat. Klien atau keluarga mengeluh anaknya atau anggota keluarganya sering berhenti mendadak bila diajak bicara.
c) Riwayat penyakit sekarang: kejang, terjadi aura, dan tidak sadarkan diri.
d) Riwayat penyakit dahulu:
 Trauma lahir, Asphyxia neonatorum
 Cedera Kepala, Infeksi sistem syaraf
 Ganguan metabolik (hipoglikemia, hipokalsemia, hiponatremia)
 Tumor Otak
 Kelainan pembuluh darah
 demam,
 stroke
 gangguan tidur
 penggunaan obat
 hiperventilasi
 stress emosional
e) Riwayat penyakit keluarga: Pandangan yang mengatakan penyakit ayan merupakan penyakit keturunan memang tidak semuanya keliru, sebab terdapat dugaan terdapat 4-8% penyandang ayan diakibatkan oleh faktor keturunan.
f) Riwayat psikososial
 Intrapersonal : klien merasa cemas dengan kondisi penyakit yang diderita.
Interpersonal : gangguan konsep diri dan hambatan interaksi sosial yang berhubungan dengan penyakit epilepsi (atau “ayan” yang lebih umum di masyarakat).
g) Pemeriksaan fisik (ROS)
1) B1 (breath): RR biasanya meningkat (takipnea) atau dapat terjadi apnea, aspirasi
2) B2 (blood): Terjadi takikardia, cianosis
3) B3 (brain): penurunan kesadaran
4) B4 (bladder): oliguria atau dapat terjadi inkontinensia urine
5) B5 (bowel): nafsu makan menurun, berat badan turun, inkontinensia alfi
6) B6 (bone): klien terlihat lemas, dapat terjadi tremor saat menggerakkan anggota tubuh, mengeluh meriang
h) Analisis Data
Data Etiologi Masalah Keperawatan
DS:
DO: pasien kejang (kaki menendang- nendang, ekstrimitas atas fleksi), gigi geligi terkunci, lidah menjulur perubahan aktivitas listrik di otak
Keseimbangan terganggu
gerakan tidak terkontrol Resiko cedera
DS: sesak,
DO:apnea, cianosis gangguan nervus V, IX, X
lidah melemah
menutup saluran trakea
Adanya obstruksi Bersihan jalan napas tidak efektif
DS: terjadi aura (mendengar bunyi yang melengking di telinga, bau- bauan, melihat sesuatu), halusinasi, perasaan bingung, melayang2.
DO: penurunan respon terhadap stimulus, terjadi salah persepsi Terjadi depolarisasi berlebih
Bangkitan listrik di bagian otak serebrum
Menyebar ke nervus- nervus
Mempengaruhi aktivitas organ sensori persepsi Gangguan persepsi sensori
DS: klien terlihat rendah diri saat berinteraksi dengan orang lain
DO:menarik diri Stigma masyarakat yang buruk tentang penyakit epilepsi atau “ayan”
Klien merasa rendah diri
Menarik diri Isolasi sosial
DS: klien terlihat cemas, gelisah.
DO: takikardi, frekuensi napas cepat atau tidak teratur Terjadi kejang epilepsi
Kurang pengetahuan tentang kondisi penyakit
Bingung Ansietas
DS: pasien mengeluh sesak
DO: RR meningkat dan tidak teratur, Terjadi bangkitan listrik di otak
Menyebar ke daerah medula oblongata
Mengganggu pusat respiratori
Mempengaruhi pola napas Ketidakefektifan pola napas
DS: klien merasa lemas, klien mengeluh cepat lelah saat melakukan aktivitas
DO:takikardi, takipnea, terjadi bangkitan listrik di otak
menyebar ke MO
mengganggu pusat kardiovaskular
takikardia
CO menurun
Suplai darah (O2) ke jaringan menurun
metabolisme aerob menjadi anaerob
ATP dari 38 menjadi 2
kelelahan
intoleransi aktifitas Intoleransi aktivitas
DS: pasien menunjukkan kelelahan, diam, tidak banyak bergerak
DO: penurunan kesadaran, penurunan kemampuan persepsi sensori, tidak ada reflek CO menurun
Suplai darah ke otak berkurang
Iskemia jaringan serebral (O2 tidak adekuat) Resiko penurunan perfusi serebral
3.2. Diagnosa Keperawatan
1) Resiko cedera b.d aktivitas kejang yang tidak terkontrol (gangguan keseimbangan).
2) Ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan sumbatan lidah di endotrakea, peningkatan sekresi saliva
3) Isolasi sosial b.d rendah diri terhadap keadaan penyakit dan stigma buruk penyakit epilepsi dalam masyarakat
4) Ketidakefektifan pola napas b.d dispnea dan apnea
5) Intoleransi aktivitas b.d penurunan kardiac output, takikardia
6) Gangguan persepsi sensori b.d gangguan pada nervus organ sensori persepsi
7) Ansietas b.d kurang pengetahuan mengenai penyakit
Resiko penurunan perfusi serebral b.d penurunan suplai oksigen ke otak
3.3. Intervensi dan rasional
1) Resiko cedera b.d aktivitas kejang yang tidak terkontrol (gangguan keseimbangan).
Tujuan : Klien dapat mengidentifikasi faktor presipitasi serangan dan dapat meminimalkan/menghindarinya, menciptakan keadaan yang aman untuk klien, menghindari adanya cedera fisik, menghindari jatuh
Kriteria hasil : tidak terjadi cedera fisik pada klien, klien dalam kondisi aman, tidak ada memar, tidak jatuh
Intervensi Rasional
Observasi:
Identivikasi factor lingkungan yang memungkinkan resiko terjadinya cedera
Barang- barang di sekitar pasien dapat membahayakan saat terjadi kejang
Pantau status neurologis setiap 8 jam Mengidentifikasi perkembangan atau penyimpangan hasil yang diharapkan
Mandiri
Jauhkan benda- benda yang dapat mengakibatkan terjadinya cedera pada pasien saat terjadi kejang
Mengurangi terjadinya cedera seperti akibat aktivitas kejang yang tidak terkontrol
Pasang penghalang tempat tidur pasien Penjagaan untuk keamanan, untuk mencegah cidera atau jatuh
Letakkan pasien di tempat yang rendah dan datar Area yang rendah dan datar dapat mencegah terjadinya cedera pada pasien
Tinggal bersama pasien dalam waktu beberapa lama setelah kejang Memberi penjagaan untuk keamanan pasien untuk kemungkinan terjadi kejang kembali
Menyiapkan kain lunak untuk mencegah terjadinya tergigitnya lidah saat terjadi kejang Lidah berpotensi tergigit saat kejang karena menjulur keluar
Tanyakan pasien bila ada perasaan yang tidak biasa yang dialami beberapa saat sebelum kejang Untuk mengidentifikasi manifestasi awal sebelum terjadinya kejang pada pasien
Kolaborasi:
Berikan obat anti konvulsan sesuai advice dokter
Mengurangi aktivitas kejang yang berkepanjangan, yang dapat mengurangi suplai oksigen ke otak
Edukasi:
Anjurkan pasien untuk memberi tahu jika merasa ada sesuatu yang tidak nyaman, atau mengalami sesuatu yang tidak biasa sebagai permulaan terjadinya kejang.
Sebagai informasi pada perawat untuk segera melakukan tindakan sebelum terjadinya kejang berkelanjutan
Berikan informasi pada keluarga tentang tindakan yang harus dilakukan selama pasien kejang Melibatkan keluarga untuk mengurangi resiko cedera
2) Ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan sumbatan lidah di endotrakea, peningkatan sekresi saliva
Tujuan : jalan nafas menjadi efektif
Kriteria hasil : nafas normal (16-20 kali/ menit), tidak terjadi aspirasi, tidak ada dispnea
Intervensi Rasional
Mandiri
Anjurkan klien untuk mengosongkan mulut dari benda / zat tertentu / gigi palsu atau alat yang lain jika fase aura terjadi dan untuk menghindari rahang mengatup jika kejang terjadi tanpa ditandai gejala awal.
Letakkan pasien dalam posisi miring, permukaan datar
Tanggalkan pakaian pada daerah leher / dada dan abdomen
Melakukan suction sesuai indikasi
Kolaborasi
Berikan oksigen sesuai program terapi
menurunkan resiko aspirasi atau masuknya sesuatu benda asing ke faring.
meningkatkan aliran (drainase) sekret, mencegah lidah jatuh dan menyumbat jalan nafas
untuk memfasilitasi usaha bernafas / ekspansi dada
Mengeluarkan mukus yang berlebih, menurunkan resiko aspirasi atau asfiksia.
Membantu memenuhi kebutuhan oksigen agar tetap adekuat, dapat menurunkan hipoksia serebral sebagai akibat dari sirkulasi yang menurun atau oksigen sekunder terhadap spasme vaskuler selama serangan kejang.
3) Isolasi sosial b.d rendah diri terhadap keadaan penyakit dan stigma buruk penyakit epilepsi dalam masyarakat
Tujuan: mengurangi rendah diri pasien
Kriteria hasil:
- adanya interaksi pasien dengan lingkungan sekitar
- menunjukkan adanya partisipasi pasien dalam lingkungan masyarakat
Intervensi Rasional
Observasi:
Identifikasi dengan pasien, factor- factor yang berpengaruh pada perasaan isolasi sosial pasien
Memberi informasi pada perawat tentang factor yang menyebabkan isolasi sosial pasien
Mandiri
Memberikan dukungan psikologis dan motivasi pada pasien
Dukungan psikologis dan motivasi dapat membuat pasien lebih percaya diri
Kolaborasi:
Kolaborasi dengan tim psikiater
Konseling dapat membantu mengatasi perasaan terhadap kesadaran diri sendiri.
Rujuk pasien/ orang terdekat pada kelompok penyokong, seperti yayasan epilepsi dan sebagainya. Memberikan kesempatan untuk mendapatkan informasi, dukungan ide-ide untuk mengatasi masalah dari orang lain yang telah mempunyai pengalaman yang sama.
Edukasi:
Anjurkan keluarga untuk memberi motivasi kepada pasien
Keluarga sebagai orang terdekat pasien, sangat mempunyai pengaruh besar dalam keadaan psikologis pasien
Memberi informasi pada keluarga dan teman dekat pasien bahwa penyakit epilepsi tidak menular Menghilangkan stigma buruk terhadap penderita epilepsi (bahwa penyakit epilepsi dapat menular).
3.4. Evaluasi
1) Pasien tidak mengalami cedera, tidak jatuh, tidak ada memar
2) Tidak ada obstruksi lidah, pasien tidak mengalami apnea dan aspirasi
3) Pasien dapat berinteraksi kembali dengan lingkungan sekitar, pasien tidak menarik diri (minder)
4) Pola napas normal, TTV dalam batas normal
5) Pasien toleran denhttp://www.blogger.com/img/blank.gifgan aktifitasnya, pasien dapat melakukan aktifitas sehari- hari secara normal
6) Organ sensori dapat menerima stimulus dan menginterpretasikan dengan normal
7) Ansietas pasien dan keluarga berkurang, pasien tampak tenang
Status kesadaran pasien membaik